Rinduku padanya cukup menyiksa. Di
sepanjang hari-hariku wajahnya terus saja membayangi. Empat tahun setengah
bukan waktu yang sebentar. Selama itu pula aku tak bisa meruntuhkan kerasnya
hati seseorang yang telah membuatku bertahan mencintainya selama itu. Ia tak
pernah tahu siapa sebenarnya aku. Ingin sekali ku tunjukkan padanya siapa aku.
Namun aku tak sanggup. Aku tak sanggup bila ia mengetahui siapa aku, pasti ia
akan meninggalkanku. Aku tak sanggup bila harus jauh darinya. Pengorbananku
selama ini akan sia-sia saja. Tapi dalam ketidakjelasan seperti ini juga akan
menambah ketidakjelasan cerita ini. Sampai kapan ia harus dalam rasa penasaran
yang telah lama membalut hatinya.
Aku tak tega melihat batinnya
tersiksa seperti itu. Dari hatiku yang paling dalam aku ingin melihat canda
tawanya secara langsung, melihat senyum manisnya dan mendengar segala keluh
kesahnya disaat ia membutuhkan pendengar. Cerita ini berawal ketika ia duduk di
bangku kelas XI sedangkan aku duduk di kelas XII. Pertemuan kami bermula di
sebuah tempat les bahasa Inggris. Aku sudah jatuh hati padanya sejak pertama
kali bertemu. Ia lebih dulu masuk di kursusan tersebut dan aku baru masuk
setelah beberapa minggu kelas pendaftaran murid baru dibuka. Kami sama-sama ada
di kelas regular sedangkan yang tingkat lanjut ada di kelas intensive. Tak tahu
mengapa sejak pertama kali masuk mataku langsung tertuju pada gadis berbaju
coklat itu. Ia memang pendiam tapi sebenarnya dia humoris kalau sudah kenal.
Aku tak bisa mendekat padanya. Sulit sekali mendapat perhatiannya. Dia tak
pernah menoleh kepadaku sedikitpun. Bahkan untuk sekedar bertanya saja aku malu
dan sedikit takut. Takut dicuekin. Hanya sekali aku berhasil bertanya pada ia
yang pendiam itu. Itu pun karena tutor kami mengacak tempat duduk kami dan
kebetulan aku ditempatkan duduk disampingnya.
Rasanya senang sekali, tapi
masalahnya apakah aku bisa berbicara dengannya. Dari tempat duduk inilah ada
secercah harapan. Disaat tutor menjelaskan dan kami mencatatnya, aku
ketinggalan dan aku bertanya padanya. Mau tidak mau ia harus menjawabnya karena
teman duduk terdekat adalah ia. Rasanya seperti disiram es di tengah gurun
pasir bisa mendengar ia berbicara langsung kepadaku. Berbagai cara telah aku
lakukan untuk mendapat perhatiannya. Namun belum membuahkan hasil. Pernah suatu
saat aku mengumpulkan tugas yang diberikan tutor kepada kami. Kebetulan aku
selesai terlebih dahulu. Setelah mengumpulkan tugas kami harus oral test.
Disaat aku akan oral test ia juga selesai mengerjakan dan tutor memanggilnya
untuk mengumpulkan tugas yang telah selesai ia kerjakan.
“ Nana kumpulkan tugasnya, sudah selesai kan?”
“ Iya mister”.
Karena tempat dudukku yang berhadapan dengan mister
menghalangi jalannya, ia pun memutar arah menjadi lebih jauh. Dari mulutku
mengeluarkan kata-kata.
“Kasihan, jalannya jadi lebih jauh” dan apa
reaksinya, ia hanya diam sembari berjalan. Entah dia tidak mendengarnya atau
memang cuek. Menurutku dia mendengar namun hanya diam saja. Yah, aku sudah
paham kalau dia memang cuek. Tapi usahaku tak berhenti sampai disitu saja.
Beberapa waktu kemudian, ia maju untuk telling story. Audience pun diberi
kesempatan untuk bertanya setelah ia selesai bercerita. Aku yang tak pernah
bertanya saat itu bertanya padanya. Lagi-lagi ia tak memberikan respon padaku,
tetap saja cuek. Malah ia menunjuk teman-teman yang lain.
“ Gak jadi Tanya wes, gak direspon” itulah celotehku
saat ia tak mempedulikanku.
“Iya, silahkan”. Akhirnya ia menunjukku. Senang
rasanya. Aku mempunyai pertanyaan kedua. Namun, ia sempat menolaknya.
“
Mister, dia Tanya dua kali” katanya
“
Gak apa-apa, ayo Fikri” setelah mister berkata seperti itu dengan terpaksa ia
menjawab pertanyaanku. Kecuekannya terus berlanjut sampai kami lulus TC 39. Aku
hanya bisa menatap wajahnya dari jarak beberapa meter. Dekat dengannya pun aku
hanya bisa menatap sedikit tanpa bisa berbicara dengannya.
Sejak
awal-awal pertemuanku dengannya aku berusaha mencari tahu tentangnya. Ku minta
nomor hp nya dari teman yang satu sekolah dan biasanya berangkat bersama.
Mungkin hanya lewat cara itu aku bisa dekat dengannya. Aku tahu ia anak yang
baik, sopan, lembut dan pandai. Ia menyambutku dengan baik sebagai teman
barunya lewat sms setelah melalui perundingan alot dan butuh kekuatan ekstra
untuk meyakinkannya. Pernah aku membuat sekali kesalahan hingga membuatnya
marah dan tak percaya padaku lagi. Terus aku menghubunginya tapi tak ada
jawaban sedikitpun. Hubungan pertemanan kami berhenti disitu. Dalam
penyamaranku aku mengaku sebagai seseorang yang berumur satu tahun dibawahnya
padahal aku satu tahun diatasnya. Beberapa bulan setelah itu aku menghubunginya
kembali. Alhamdulillah ia masih mau membalas sms ku. Benar saja ia membalasnya
karena aku ganti nomor agar ia tidak tahu kalau itu aku. Aku beruntung ia tetap
mau berteman denganku. Aku menyatakan cinta padanya, dan ia pun langsung
memberikan jawaban. Yah, ia menolakku. Ia beralasan ingin fokus sekolah dulu
dan masih ingin sendiri. Dari situ aku bisa menyimpulkan bahwa ia memang tidak
ingin pacaran dulu.
Kami
sempat bertengkar karena sesuatu. Kesalah pahaman antara aku dengannya membuat
ia memutus hubungan denganku. Harus seperti ini lagikah? Gumamku dalam hati.
Beberapa bulan kami lost contact lagi. Sekarang ia kelas XII dan akan segera
menghadapi ujian nasional. Aku mulai menghubunginya kembali, ingin aku
memberinya semangat untuk berjuang menghadapi UN. Bersyukur aku karena ia mau
membalas sms ku lagi, tentu saja dengan nomor baruku. Aku merasa berat hati
ketika tahu ia melanjutkan pendidikannya di luar kota. Yah, meskipun bukan kota
yang jauh sekali dari kota kelahiran kami. Hilang kontak sudah menjadi
kebiasaan kami berdua. Memang mungkin salahku yang tak pernah menunjukkan
identitas. Aku memang mengaku dengan nama lain, namun feelingnya terlalu kuat.
Ia tetap tak percaya dengan identitas palsuku. Ia tak pernah ganti nomor karena
nomornya saat ini terlanjur menyebar. Semua teman-temannya tahu nomornya saat
ini. Aku pun menghubunginya kembali. Disaat keadaan mulai membaik aku
mengungkapkan perasaanku untuk kedua kalinya, namun jawabannya tetap sama. Ia
ingin fokus kuliah dan ingin mendapat pasangan yang lebih tua darinya.
Meski
berkali-kali ku jelaskan rasa sayang tak memandang usia, ia tetap dengan
pendiriannya. Lost contact terjadi lagi. Hampir sepuluh bulan ia tak pernah
membalas sms ku sama sekali. Ingin menyerah saja aku. Namun aku harus terus
memperjuangkannya. Sering ia memintaku untuk pergi ke kampusnya, tapi dengan
beribu alasan aku menolaknya. Aku takut setelah ia tahu siapa aku sebenarnya ia
akan menjauh dan tak mau mengenalku lagi. Aku memang sedang LDR namun bukan
long distance relationship. LDR ku adalah lelah disiksa rindu. Yah, aku
tersiksa rinduku padanya yang bertahun-tahun tak pernah bertemu dengannya.
Ingin sekali aku selalu berada di sampingnya, namun hanya satu hal itu yang
membuatku takut kehilangannya.
“Mohon
mengertilah aku sayang kamu, aku gak mau kehilangan kamu” gumamku dalam hati”
Tak
jarang juga aku mendapat kata-kata kasar darinya. Tapi aku tak pernah marah, ku
terima dengan ikhlas. Aku sadar itu memang salahku. Aku serba salah dengan apa
yang mau ku lakukan saat ini. Meski begitu aku tahu ia anak yang baik dan
kalem. Dia berkata kasar seperti itu karena dia kesal dan ingin membuatku
membencinya. Namun yang namanya sayang diapain juga tetep aja sayang. Suatu
ketika, mungkin ia mengujiku, ia minta ditelpon. Disitulah aku mengungkapkan
perasaanku untuk yang ketiga kalinya. Namun tetap saja jawabannya. Aku bisa
mengerti. Hal itulah yang membuatku bertahan untuk tidak menujukkan identitasku
dengan segera. Ketika ia survey tempat magang aku sempat menghubunginya. Aku
senang bisa sedikit bercanda tawa dengannya meski awalnya ia sempat
marah-marah.
Aku
paham gadis manis imut-imut yang selama ini ku kejar tak ingin pacaran. Itulah
yang membuatku lebih ingin menyimpan dulu identitasku. Ingin langsung ku lamar
dia ke orang tuanya kelak. Aku hanya bisa stalking facebooknya untuk melihat
wajah manisnya. Kadang aku merasa cemburu ketika ia ditandai teman-temannya
entah foto bersama atau status. Apalagi kalau fotonya ada cowok. Tapi aku siapa
cemburu padanya. Berapa tahun aku tak bisa meruntuhkan kerasnya hatinya. Aku tahu banyak yang
menyukainya namun ia masih menunggu belahan jiwa yang memang ia tunggu selama
ini.
Aku
takut kalah dulu dengan orang lain dan akhirnya ku beranikan diri untuk
menunjukkan identitasku padanya. Ia mepersilahkanku datang ke kampusnya dengan
waktu yang telah kita sepakati. Dari jauh aku melihatnya sedang mencariku.
Langsung saja ku telepon dia.
“ Halo, noleh ke kanan aku disitu”.
Ia mengampiriku dan betapa
terkejutnya ia ketika melihatku. Sepertinya ia ingat dengan wajahku. Dia
berusaha untuk tetap bersikap baik dan ramah. Aku bahagia sekali bisa
memandangnya lagi. Ketika aku membicarakan hal yang menyngkut perasaan ia
meminta maaf karena ia tak bisa menerimaku. Bahkan ia sempat kesal dan sedikit
membentakku.
“Aku ini manusia biasa, punya hati,
aku juga lelah dipermainkan seperti ini. Kamu jahat, egois kamu gak punya hati
Fikri, berapa tahun kamu nyiksa aku dan kamu permainkan perasaanku”.
“Aku lakukan semua itu karena aku
cinta dan sayang sama kamu, aku gak ingin kamu menjauh dariku, aku gak mau
kehilangan kamu Nana. Aku nunggu kamu selama empat tahun setengah”.
“Tapi cara kamu salah , coba kamu
ngaku dari dulu rasanya gak akan sesakit ini,aku minta maaf Fikri, sekarang ada
urusan yang harus ku selesaikan, aku harap kamu tidak menggangguku lagi”
Ia pergi begitu saja. Saat itu
hujan turun dengan derasnya. Air mata yang mengalir dari matanya tertutupi oleh
derasnya hujan. Dalam hatiku, ingin sekali ku usap air mata itu agar tak ada
lagi kesedihan. Kekhawatiran yang selama ini ku takutkan akhirnya terjadi.
Mungkin ini adalah jalan terbaik untukku dan dia. Bukan salahnya juga karena
aku juga yang salah. Aku menyesal kenapa harus seperti ini. Hati perempuan mana
yang tak kesal dan terluka. Dibohongi selama itu dan didera rasa penasaran yang
menyesakkan dada.
“Coba aku mengaku saja dari dulu
pasti tak akan seperti ini”.
Rindu ini semakin membuatku lelah
karena mungkin aku tak akan bisa melihatnya lagi. Ingin sekali aku memeluknya
menenangkan hatinya yang tengah kalut itu. Namun aku bukanlah siapa-siapa.
Mungkin hanya do’a yang bisa ku panjatkan untuknya. Aku lelah disiksa rindu
seperti ini.
it's really good nandae......
ReplyDeleteThank you very much mbak Atiqa...
ReplyDelete