Harapan di Pintu 27



Krrrriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnngggggggggg…………..
Bel sudah berbunyi dan terdengar nyaring dari F.27, saatnya jamaah subuh.
27 menjadi harapan baru buatku. Kini aku akan tinggal disini selama beberapa tahun sampai kelak aku akan mengenakan toga. Awalnya aku memang takut tapi lama kelamaan aku terbiasa dan senang hidup disini. Banyak hal dan teman baru yang kudapat dan ku temui mulai dari Indonesia timur sampai barat. Mulai dari Jambi sampai Ambon. Yah, F.27 adalah kamar kini aku tinggal. Kamar di ujung paling timur asrama 3 Nusantara pondok pesantren Darul Ulum Jombang. 
            Disinilah berbagai rasa, budaya dan keunikan dari berbagai pelosok negeri bernaung di bawah semboyan BhinekaTunggal Ika. Meskipun kadang beberapa diantara kami bergurau sambil membawa daerah masing-masing. Namun, itu hanya guyonan, pelengkap persahabatan anak negeri yang berada di tanah perantauan. Tujuan para pejuang ilmu ini hanyalah ingin mencari ilmu dan membawanya ke tanah kelahiran untuk membangun kampung halaman.
            Kamar ini berisi 18 orang. Nah, ini nih mbak Tori alias Trina dari Madiun yang berjuluk Preman. Memang dia ini kalau lagi marah agak jahat kayak preman. Tapi preman yang satu ini takut gelap. Pernah habis jamaah magrib dia mandi sebelum ngaji, eh ternyata lampunya mati dan kebetulan udah gak ada yang mandi lagi. Dia teriak dan lucunya dia malah gak mau keluar dari kamar mandi saking takutnya. Untung lampu matinya Cuma sebentar dan dia segera kembali ke kamar. Orang sekamar tertawa semua mendengar cerita mbak Tori.
“Hahahaha…preman kok takut gelap” sahut salah satu penghuni F.27.
            Asrama 3 mempunyai pembina yang luar biasa sabar menghadapi santri-santri yang sudah mahasiswi ini. Meski sudah sepuh namun bu Nyai yang akrab disapa Ibu ini suaranya masih lantang. Untung saja bu Nyai mempunyai menantu yang akrab disapa Neng. Beliau selalu naik ke kamar-kamar santri bila tak segera turun untuk jamaah atau ngaji.
“Krrriiiiiiiiinggggg…………. Lagi-lagi bel ini memanggil kami untuk segera berangkat jamaah. Susah memang kalau subuh, enaknya narik selimut dan tidur lagi. Jangan lakukan itu kalau gak mau kena hujan tiba-tiba di pagi hari. Kalau kita gak cepetan turun untuk jamaah pasti Neng sudah ada di kamar dan menyemprot kita dengan air. Sebagai santri, kita gak pernah marah karena itu semua juga untuk kebaikan kita. Tak sedikit juga lho santri yang rajin, turun jamaah tepat waktu hingga bangunin temen-temennya untuk jamaah.
 Kadang sedikit percekcokan kecil dan tak jauh-jauh dari guyonan menambah hangatnya beberapa anak negeri di F.27.  Yang paling sering terjadi antara Laila dan mbak Elmi. Laila ini asli dari Madura sedangkan mbak Elmi dari Tuban. Mbak Elmi ini berjuluk Singa dan Laila berjuluk Kimpet. Awalnya sih bagus Kim Lala, namun mbak Syifa yang sama-sama penggemar Korea kaya Laila gak setuju.
“Terlalu bagus kalau Kim Lala, mending Kimpet aja”.
Emang sih dua orang ini juga sering usil satu sama lain tapi saling merindu kalau gak ada. Oh iya kamar F.27 selalu bersih. Ini tak luput dari mbak yang satu ini. Namanya mbak Ulfa, ini nih yang satu kota denganku, sama-sama dari kota Onde-onde. Ada empat personil dari kota Onde-Onde ini, jadi kalau ada yang mengganggu salah satu personil dari Mojokerto, kita berempat bakal nyerbu mereka. Mbak Ulfa punya julukan mbah, karena sering marahin kita kalau gak jaga kebersihan.
Ada satu lagi nih personil F.27 namanya Luluk, dia menyebut dirinya bayi padahal dia gak kecil-kecil amat. Yah itulah keberagaman di F.27. Saling membantu juga menjadi kebiasaan kami. Berasal dari berbagai jurusan dan disiplin ilmu semakin melengkapi kami. Banyak harapan yang kami gantungkan disini. Segala keluh kesah dan air mata adalah bumbu penguat persahabatan dan impian. Harapan kami akan selalu menyala disini.




Comments

Post a Comment