Semanis Gula Jawa


       Tak tahu mengapa pagi itu aku senang . Rasa syukur tak henti-hentinya ku panjatkan. Seseorang yang selalu kupandang dari jauh pagi itu tersenyum kepadaku. Tak seperti biasanya senyumnya sangat manis dan terlihat sangat tulus. Aku berusaha membalas senyumannya, namun aku samarkan dengan senyum kepada orang lain. Saat itu aku sedang ada ujian dan ujian itu adalah membaca puisi. Aku membaca puisi yang bertema nasionalisme,sedangkan kedua orang temanku menyanyikan sebuah lagu yang tak jauh-jauh dari nasionalisme.
        Kami berusaha tampil sebaik mungkin agar mendapat nilai yang baik. Tujuan utama bukan nilai tapi yang penting kami bisa tampil sebagus mungkin. Kostum yang kami gunakan pun tak seperti biasanya. Dua orang temanku memakai pakaian berwarna hitam lengkap dengan pita bendera merah putih yang dipakai di kepala dan lengan sebelah kanan. Sedangkan aku memakai baju dari negara lain, karena dalam lagu ini bercerita tentang kerinduan seorang anak pada negerinya.
Dulu ketika masih kecil aku pernah juara 2 lomba membaca puisi. Di bangku pun aku pernah mengikuti lomba puisi antar kelas. Sebenarnya aku tak mau, tapi teman-teman memaksaku untuk menjadi delegasi kelas, yah meskipun akhirnya kalah. Selama di bangku kuliah teman-teman tak pernah melihatku membaca puisi. Ternyata di luar  kelas banyak mata-mata yang melihat kami.                 Mungkin mereka fokus melihat kostum kami. Mulai dari kakak tingkat hingga adik tingkat. Dari sekian banyak orang di luar kelas mataku tiba-tiba memandang ke satu arah. Entah mengapa, ia yang kutatap juga menatap ke arahku.  Rasanya nano-nano gak karuan. Apalagi ketika kami keluar setelah selesai selesai tampil, ia juga memandang ke arahku.
Di semester sebelumnya aku juga ujian bermain drama dan Alhamdulillah suaraku bisa keras. Aku senang sekali dan sangat bersyukur. Entah kenapa ketika akan tampil die pan banyak orang seperti itu aku merasa suaraku tak bisa keras, mungkin karena gugup. Namun setelah berada di panggung suaraku seperti tak malu lagi untuk didengarkan orang. Begitu juga saat pembacaan puisi kali ini, meski awalnya aku takut suaraku tak bisa keras, Alhamdulillah aku bisa memberikan penampilan terbaikku saat itu. Suaraku bisa lantang dan menggema dipantulkan oleh dinding-dinding tembok kelas. Tak salah memilih puisi yang bergenre nasionalisme itu.
Bahkan ada yang ku lihat menutupi wajahnya seakan ingin menitikkan air mata. Aku tak tahu entah terharu atau karena yang lain dan mungkin apakah suaraku yang tak bisa berterima di telinganya.              Aku berharap semoga saja karena ia memang terharu mendengar puisi yang ku baca. Setelah pembacaan puisi selesai perlahan aku berjalan mundur  tanpa langkah gontai seperti awal masuk. Setelah audience memberikan tepuk tangan mengapresiasi penampilan kami mataku terarah melihat pemandangan di luar kelas. Kaget dan terkejut melihat beberapa orang berada di dekat kelas melhat penampilan kami. Jadi, ternyata dari tadi banyak yang melihat???
Aku seperti tak percaya dengan semua itu. Mereka melihatku membaca puisi. Ada rasa mau senang bercampur jadi satu. Mataku tetap setia memandang ke satu arah, dan itu adalah arah tempat orang ku kagumi itu. Ia tersenyum sangat manis sekali. Berbeda dengan senyumnya seperti biasanya yang kulihat pagi itu senyumnya sungguh terlihat luar biasa tulus. Bisa saja senyum itu untuk sesama Muslim dan aku senang sekali. Aku hanya bisa bersyukur dengan semua keajaiban itu. Sepertinya dia melihat sisi lain dari diriku hingga senyumnya terpancar begitu luar biasa. Mudah-mudahan saja karena ia mengetahui aku membaca seperti tadi, makanya dia seperti itu. Subhanallah dia sungguh terlihat seperti malaikat saat itu. Salah satu yang membuatku tampil seperti itu karena aku melihatnya sebelum tampil. Aku pun sangat terkejut ketika tahu ia melihatku. Sayangnya aku baru mengetahuinya setelah aku tampil. Tapi tak apalah aku senang.
        Beberapa hari kemudian aku merasa ada sesuatu yang sedikit tak seperti biasanya. Ia duduk lengkap dengan menghadap laptopnya berjarak sekitar dua jengkal di depanku. Subhanallah apalagi ini ya Allah. Aku tak mau terlalu terbawa suasana, iya kalau ia memang suka padaku, kalau tidak nanti hanya akan membuat sakit saja. Mungkin aku tak bisa menangkap kode yang ia berikan seandainya itu memang kode darinya. Aku berharap dia bisa peka. Namun aku selalu berdo’a untuk calon imamku kelak dan jika dialah orangnya berarti dia adalah orang yang kusebut dalam do’aku setiap hari. 

Comments