MARXIST
CRITICISM
Karl Marx(1818-1883), seorang filsuf dari Jerman dan
Friedrich Engels(1820-1895) seorang sosiologis Jerman…. Marx adalah anak dari
seorang pengacara tetapi ia menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam kemiskinan
seperti pengasingan politik dari kehidupan Jerman di Britain(dia dibuang
setelah tahun revolusi 1848). Engels meninggalkan Jerman pada tahun 1842 untuk
bekerja di Manchester di perusahaan tekstil milik ayahnya. Mereka bertemu setelah membaca sebuah
artikel Engel dalam sebuah jurnal yang
dimana mereka berdua berkontribusi. Mereka sendiri menyebut teori ekonomi
mereka “Communism’’membentuk kepercayaan mereka
di kepemilikan industri negara, transportasi dll daripada kepemilikan
swasta. Marx dan Engels mengumumkan kedatangan communism dalam gabungan tulisan mereka Communist
Manifesto of 1848.
Tujuan Marxism adalah untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas,
yang mencoba menjelaskan segala sesuatutanpa mengakui keberdaan dunia maupun
kekuatan yang melampaui dunia natural sekitar kita dan masyarakat yang kita
tiggali.
. Marxism adalah filosofi matrealis yang itu
berarti untuk menjelaskan sesuatu tanpa mengambil dari sebuah kata dan
kehidupan sosial di sekitar kita . Itu terlihat konkrit, ilmiah dan penjelasan
yang logis dari kata tampak seperti fakta yang bisa diamati. Hal itu berlawanan
dengan filosofi idealis yang mempercayai adanya kata spiritual di tempat lain
dan akan memberikan penjelasan keagamaan dan pengarahan hidup. Tetapi mengingat
filosofi-filosofi lain terus mencoba mengerti mengenai kata tersebut. Marxism
mencoba untuk merubah itu. Marxism melihat kemajuan datang melalui perjuangan
dengan tanpa membedakan perbedaan kelas sosial.
Kritik
sastra Marxis mempertahankan bahwa kels sosial penulis, dan ideology yang
diberlakukannya umumnya ditunjukkan oleh tulisan yang dibuat oleh anggota kelas
tersebut. Adapun kritik Marxis secara tradisional cenderung berkenaan dengan
sejarah dengan cara yang agak umum.
Masa Kini: pengaruh Althusser
Kebanyakan pemikiran Marxis tentang
sastra saat ini telah dipengaruhi oleh karyateori Marxis Prancis dengan
konsep overdeterminism. Ideology merupakan istilah kunci bagi
Althusser, sebagaimana juga bagi semua pengikut Marx. Ideology
merupakan konsep yang luas dan didefinisikan secara beragam dalam
Marxisme. Decentering merupakan istilah kunci bagi Althusser
yang mengindikasikan struktur-struktur yang tidak mempunyai esensi, focus atau
pusat.
Yang Dilakukan Kritikus Marxis
1. Mereka membuat pembagian antara isi
karya sastra yang tampak dan yang tidak tampak.
2. Metode lainnya yang dilakukan oleh
kritikus Marxis adalah dengan menghubungkan konteks sebuah karya dengan status
kelas sosial penulis.
3. Metode Marxis yang ketiga dalah menjelaskan
sifat dari keseluruhan genre sastra dalam kerangka periode sosial yang
memproduksinya.
4. Praktik Marxis yang keempat adalah
menghubungkan karya sastra dengan asumsi-asumsi sosial ketika ia dikonsumsi
5. Praktik Marxis kelima adalah politisasi
bentuk sastra.
Marxisme-Leninisme adalah suatu teori politik dan ekonomi
yang dirumuskan Lenin dalam kerangka tafsirannya terhadap pemikiran Marx. Teori politik dan ekonomi ini nantinya
akan menjadi ideologi yang mendasari semua partai komunis pada abad kedua
puluh. Di dalam teori ini, pada hemat saya, ada satu pandangan yang kiranya
cukup menarik untuk dibahas, yakni tentang konsep masyarakat komunis yang ideal,
dan upaya-upaya yang kiranya diperlukan untuk mewujudkannya. Komunisme sendiri,
sebagai bagian dari Marxisme-Leninisme, adalah suatu paham yang menyatakan
bahwa negara haruslah ditata berdasarkan pada kepemilikan kolektif (collective
ownership) atas semua harta benda, dan pengaturan di dalam tata politik
ini dilakukan oleh pemerintah yang juga bertanggungjawab pada kepentingan semua
warganya.
2. Marxisme-Leninisme
Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa
Leninlah yang membawa pemikiran Marx, sedikit banyak, menjadi realitas. Di
dalam tulisan-tulisannya, Marx memang sudah menuliskan bahwa kapitalisme akan
hancur pada akhirnya, dan kemudian terciptalah masyarakat sosialis. Akan
tetapi, Leninlah yang memikirkan, bagaimana
supaya kapitalisme bisa hancur. Dialah pendiri Uni Soviet, sebuah negara
yang menjadi pusat gerakan komunisme internasional, sekaligus negara adikuasa
kedua di dunia selama hampir seluruh abad kedua puluh. Pada masa-masa jayanya,
komunisme menjadi bentuk pemerintahan dari 18 negara di dunia.
Melalui pikiran dan tindakannya yang
agresif-revolusioner, Lenin membantu tegaknya komunisme di Russia pada revolusi 1917.Yang pada hemat
saya menarik adalah, bagaimana relasi Lenin dengan Marx? Apakah pemikiran
mereka berdua sama, atau berbeda? Dan jika berbeda, dimana perbedaannya? Yang
pasti, tidak lama setelah Lenin meninggal pada 1924, Stalin, penggantinya,
langsung memberikan label pada pemikiran-pemikiran Lenin sebagai Leninisme.
Dengan demikian, pemikiran Lenin kemudian lebih dikenal sebagai
Marxisme-Leninisme. Ajaran inilah yang nantinya akan menjadi inti dari seluruh
ideologi Komunisme di seluruh dunia. Ajaran ini jugalah yang menjadi inspirasi
bagi perjuangan revolusioner hampir di keseluruhan abad kedua puluh. Kiranya
tidaklah berlebihan apa yang ditulis Magnis-Suseno, bahwa komunisme, sebagai
kekuatan politik yang paling ditakuti pada abad keduapuluh, tidak akan pernah
ada tanpa Lenin.
Kiranya, dalam hal relasi antara Lenin dengan Marx, ada
dua konsep yang relevan untuk dibicarakan, yakni tentang konsep proletariat sebagai penguasa,
dan tentang konsep partai
revolusioner. Seperti sudah disinggung pada bagian pendahuluan, kedua
konsep ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan untuk mewujudkan
ideal masyarakat komunis, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Konsep partai revolusioner berangkat dari
pengandaian, bahwa kaum proletariat tidak bisa secara sendirian mengembangkan
kesadaran revolusioner mereka. Mereka memerlukan partai untuk menyuntikkan
kesadaran tersebut. Hal ini tentunya bertentangan langsung dengan pemikiran
Marx. Menurut Marx, apa yang disebut sebagai kesadaran revolusioner bukanlah
suatu konsep yang dihasilkan dari refleksi para intelektual, melainkan hasil
dari dialektika perjuangan proletariat itu sendiri. Jadi, kesadaran revolusioner
proletariat akan tumbuh dan berkembang di dalam pergulatannya. Jika kesadaran
revolusioner itu dipompakan dari luar oleh partai, apakah kesadaran tersebut
masih sungguh-sungguh otentik? Jika hal itu yang terjadi, maka perjuangan kaum
proletariat adalah suatu tandan penindasan baru, yakni penindasan partai.
Emansipasi pun tidak akan bisa berlangsung. Buruh akan tetap bergantung pada
kekuatan dari luar. Dengan kata lain, konsep partai revolusioner menggambarkan
apa yang secara jelas akan ditolak
oleh Marx sejak awal, yakni ketertindasan dari luar.
Lenin sendiri berpendapat, bahwa revolusi tidak akan
secara niscaya datang. Kesadaran revolusioner kaum buruh pun tidak otomatis
tumbuh. Oleh karena itu dibutuhkanlah sebuah partai yang akan mendorong
terciptanya kesadaran tersebut. Ada tidaknya revolusi sangat tergantung
dari kehendak revolusioner, dan kehendak revolusioner tidak dapat otomatis ada,
melainkan harus ‘diadakan’. Disitulah fungsi partai revolusioner. Dalam arti
ini, revolusi adalah sesuatu yang dikehendaki, sesuatu yang harus secara aktif
diperjuangkan.
Setelah kekuasaan di Russia berada di tangan Kaum Bolshevik, Lenin
lalu menghapus semua hak-hak demokratis masyarakat, dan secara sistematik
menghancurkan semua pemberontakan. Kekuasaan yang diperlukan untuk membangun
sebuah masyarakat komunis, hanya dapat diraih dan dipertahankan dengan adanya
kediktatoran kaum proletariat. Jelas, Marx tidak pernah merumuskan ide semacam
ini. Ia tidak memikirkan keberadaan sebuah partai yang akan melakukan represi
guna menciptakan masyarakat komunis. Baginya, revolusi baru dapat terjadi, jika
mayoritas masyarakat adalah kaum proletariat yang akan berhadapan langsung
dengan para pemilik modal. Untuk sementara, kaum proletar memang harus
menjalankan pemerintahan dengan tangan besi guna menumpas semua pemberontakan
dari pemilik modal. Akan tetapi, ini pun hanya berlangsung sebentar. Jika
seluruh masyarakat terdiri atas kaum proletar yang tidak lagi mempunyai musuh,
maka kekuasaan tangan besi itu pun tidak lagi diperlukan.
Secara historis, kondisi yang dihadapi oleh Lenin pada
jamannya sangatlah berbeda dengan apa yang dipikirkan Marx. Pada masa itu,
kelas yang merebut kekuasaan adalah kelas yang merupakan minoritas di Russia. Sementara, kelompok lainnya
secara jelas menentang kekuasaan partai Bolshevik dan penerapan sosialisme.
Dalam situasi semacam itu diperlukanlah suatu bentuk kediktatoran untuk menata
keadaan. “Hanya dengan menindas segala perlawanan dan melalui tindakan
diktatoris”, demikian tulis Magnis-Suseno tentang Lenin, “sosialisme akan dapat
dibangun dan kelas-kelas yang berbeda lama-kelamaan dileburkan menjadi satu
kelas pekerja”.Dalam kasus Lenin, kediktatoran partai tersebut akan berlangsung
secara permanen.
Dua konsep ini, yakni keberadaan partai revolusioner dan keberadaan partai proletar yang
memiliki kekuasaan permanen, akan menjadi penyangga bagi masyarakat komunis yang dirumuskan oleh Lenin. Dengan
kata lain, untuk mendirikan masyarakat komunis, seperti yang menjadi cita-cita
Marxisme-Leninisme, dua konsep tersebut haruslah ada terlebih dahulu. Tanpanya,
masyarakat komunis tidak akan pernah bisa diwujudkan. Lalu, masyarakat komunis
macam apakah yang sungguh menjadi cita-cita Marxisme-Leninisme? Pada bab
berikutnya, saya akan mencoba menjelaskan versi masyarakat komunis yang menjadi
impian Lenin, yang kemudian upaya perwujudannya diteruskan oleh Partai Komunis
Uni Soviet.
Di dalam merumuskan pandangannya mengenai
ideal masyarakat komunis, Lenin jelas banyak berhutang pada Marx. Pada bab ini,
saya akan mencoba untuk membaca tulisan Marx, Lenin, dan Engels untuk
memberikan gambaran umum tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat komunis.
Tentang masyarakat komunis, Marx pernah menulis,
“.. Setelah subordinasi yang memperbudak dari individu
kepada pembagian kerja, dan dengan itu antitesis antara kerja fisik dan kerja
mental telah hilang; setelah kerja tidak lagi merupakan alat untuk hidup
melainkan tujuan utama dari hidup itu sendiri; setelah kekuatan-kekuatan
produktif telah berkembang sejalan dengan perkembangan individu, … hanya dengan
begitulah, masyarakat dapat menyatakan hal ini: Dari setiap orang sesuai dengan
kemampuannya, kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya.”
Masyarakat komunis adalah masyarakat yang
ditata berdasarkan sistem masyarakat tanpa kelas (classless society). Di dalam
masyarakat tersebut, semua sistem diatur berdasar kepemilikkan publik dan kesetaraan bagi semua orang. Tidak
ada hak milik pribadi. Prinsip ‘dari setiap orang sesuai kemampuannya dan
kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya’ pun akan terwujud. “Komunisme”,
menurut definisi yang diberikan oleh Partai Komunis Uni Soviet pada 1962,
“adalah masyarakat yang terorganisir secara rapi yang terdiri dari orang-orang
bebas, yang sadar secara sosial… dan bekerja demi kebaikan bagi semua orang.” Orang-orang yang hidup di dalam
masyarakat komunis adalah orang-orang yang sadar betul, bahwa pekerjaan mereka
bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagai keseluruhan, dan bukan
kesejahteraan mereka sendiri.
Seperti yang menjadi judul tulisan ini, prinsip dasar
dari masyarakat komunis adalah ‘dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya,
dan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya’. Apa yang dimaksud dengan
dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya? Pertama, dengan memastikan bahwa setiap orang
dapat merealisasikan bakat-bakat mereka sepenuhnya, maka setiap orang akan
bekerja sesuai dengan minat dan kemampuannya, dan tingkat produktivitas pun
akan meningkat dengan niscaya. Kedua, dengan adanya penghapusan
pembagian kerja (division of labour), setiap orang akan bekerja tidak
atas paksaan atau perintah dari orang lain, tetapi atas apa yang menjadi
kecocokannya, yang membuat hidupnya bermakna. Dengan itu, kepribadian dan
kemanusiaan setiap orang akan berkembang sejalan dengan pekerjaan yang mereka
jalani. Ketiga -dan inilah yang membedakan komunisme
dari sosialisme- jika di dalam masyarakat sosialis, penghasilan diberikan
sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan, sebaliknya, di dalam masyarakat
komunis, setiap orang bekerja dengan dorongan moral (moral stimuli)
mereka. Dengan kata lain, setiap orang bekerja tanpa bayaran. Kepuasan bahwa
mereka sudah mengabdi pada masyarakat yang lebih luas sudah menjadi bayaran
yang lebih dari cukup.
Jelaslah, di dalam masyarakat komunis,
kegiatan bekerja bukanlah suatu kegiatan yang didasarkan pada keterpaksaan,
melainkan sebuah tujuan
tertinggi dari hidup. Hal
ini muncul bukan hanya karena kesadaran masyarakatnya saja yang sudah berubah,
melainkan juga karena hakekat
dari kerja itu sendiri yang
telah diubah di dalam masyarakat komunis. Kerja tidak lagi merupakan suatu bentuk
eksploitasi terhadap manusia. Kerja-kerja yang dianggap eksploitatif, seperti
kerja-kerja fisik, kini digantikan oleh mesin. Sementara, setiap manusia hanya
diharuskan bekerja sesuai dengan apa yang menjadi kemampuan dan minatnya.
Hakekat kerja yang lama, yakni yang eksploitatif dan melumpuhkan manusia, kini
digantikan oleh kerja yang mengembangkan
manusia sebagai
keseluruhannya. Inilah hakekat kerja di dalam masyarakat komunis.
Partai Komunis Uni Soviet menggarisbawahi
beberapa hal operasional mengenai hakekat kerja di dalam masyarakat komunis. Pertama, seperti sudah dijelaskan sebelumnya,
setiap orang melakukan pekerjaan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Kedua, setiap orang boleh berganti pekerjaan,
bila ia merasa bahwa pekerjaannya yang lama telah membuatnya tidak berkembang. Ketiga, setiap orang bekerja 20-25 jam dalam
seminggu. Artinya, setiap orang bekerja empat sampai lima jam
sehari, bahkan kurang. Keempat, semua bakat dan kemampuan yang ada di
dalam setiap orang akan dikembangkan semaksimal mungkin, baik di dalam kegiatan
kerja mereka, maupun di dalam aktivitas mereka di waktu santai. Kelima, setiap orang tidak usah berpikir
tentang berapa penghasilan yang mereka peroleh dari kerja-kerja mereka, karena
pemerintah telah menjamin bahwa semua kebutuhan setiap orang akan dipenuhi. Keenam,setiap pekerja akan
memperoleh penghormatan tertinggi di masyarakat. Apa yang dikerjakan oleh
seseorang akan menjadi cermin dari kualitas orang itu
sebenarnya.
Di dalam kondisi semacam itu, kerja akan menjadi
suatu tindakan yang bebas dan volunter. Dan seperti yang pernah ditulis oleh
Engels, kerja menjadi “kenikmatan tertinggi yang diketahui oleh manusia.” Kerja memberikan kebahagiaan kepada
setiap orang yang melakukannya. Orang tidak memerlukan hiburan instan guna
mencapai kebahagiaan, karena dengan pekerjaannya pun orang bisa merasa bahagia.
“Seorang pekerja yang bebas”, demikian tulis Marx, “misalnya seorang penggubah
lagu, adalah sekaligus kerja yang membahagiakan dan sekaligus kerja yang
serius, yang membutuhkan ketegangan yang intensif.” Jadi, setiap pekerjaan, entah itu
seorang penulis, seorang komponis, atapun seorang guru, adalah sekaligus
pekerjaan yang membahagiakan
dan serius. Setiap pekerjaan adalah sekaligus mekanis dan sekaligus
kreatif.
Di dalam masyarakat komunis, kebahagiaan dan
kepuasan hidup pun akan lebih bisa didapatkan, karena orang tidak hanya sibuk
dengan urusan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup semata, yang memang sudah
tidak diperlukan, tetapi mereka juga bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan
lainnya yang bermakna, seperti seni, ilmu pengetahuan, dan literatur.
Harapannya adalah, kebudayaan di dalam masyarakat komunis akan berkembang
begitu pesat, dan ini nantinya akan membuat kemakmuran masyarakat tersebut
bertambah.
Dengan demikian, kita dapat menemukan
pengandaian-pengandaian yang bersifat humanistik di dalam konsep masyarakat
komunis, tepat karena komunisme bertujuan untuk membuat hidup setiap orang
menjadi lebih bebas dan lebih bermakna, terutama dengan memberikan waktu luang
untuk melakukan hal-hal yang mereka sungguh sukai, demi perkembangan relasi
mereka dengan orang lain, ataupun perkembangan pribadi mereka sendiri.
Prinsip dasar pembagian kekayaan di dalam
masyarakat komunis adalah, ‘kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya’.
Dengan kata lain, setiap orang, siapapun dan apapun status sosialnya, akan
menerima semua kebutuhannya secara gratis dari pemerintah. Dengan pemahaman ini,
yang berubah bukan hanya pemahaman tentang kerja, tetapi seluruh relasi antar manusia,
seperti hilangnya konsumsi berlebihan oleh satu pihak karena daya beli yang
tinggi, dan relasi antar manusia yang dihitung tidak lagi dengan menggunakan
logika ekonomi dan komoditi. Pertimbangan-pertimbangan yang bersifat egoistis
akan hilang. Dorongan untuk mencari kekayaan material secara berlebihan juga
akan lenyap.
Kebijakan yang hendak memberikan secara gratis semua kebutuhan hidup bagi
setiap orang akan mengubah cara berpikir masyarakat. Orang tidak lagi dibebani
oleh tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar. Di dalam paradigma semacam
ini, orang akan bebas dari keinginan untuk mengejar pendapatan ataupun hak
milik pribadi, sesuatu yang seolah menjadi ‘makna’ bagi orang-orang yang hidup
di dalam masyarakat kapitalis. Dan pada akhirnya, setiap orang akan menyibukkan
diri mereka dengan hal-hal yang sungguh bermakna dan memiliki budaya yang
tinggi. Inilah yang sungguh dihargai di dalam masyarakat komunis.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya,
distribusi kekayaan di dalam masyarakat komunis akan dibagi seadil-adilnya. Di
dalamnya termasuk juga kebutuhan ekonomi material maupun kebutuhan yang
bersifat spiritual. Proses ini akan menguntungkan kedua belah pihak, baik
masyarakat sebagai keseluruhan, maupun individu-individu partikular yang hidup
di dalam masyarakat tersebut. “Distribusi”, demikian tulis Engels, “sejauh itu
diatur dengan pertimbangan yang murni ekonomis, akan ditata dengan kepentingan
yang mengacu pada produksi, dan produksi itu akan mendorong modus distribusi
yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan, mempertahankan, dan
melatih kemampuan mereka dengan universalitas yang maksimal.”
Pada titik ini, kita bisa mengajukan
pertanyaan kritis. Jika setiap kebutuhan dipenuhi oleh pemerintah, lalu
bukankah setiap orang akan menuntut dipenuhi keinginan-keinginannya, seperti
keinginan akan rumah yang besar, ataupun kendaraan yang mewah? Lalu, bagaimana
jika ada orang yang ingin menjadi kolektor perhiasan ataupun benda-benda seni
yang memiliki nilai tinggi? Apakah mereka juga bisa menuntutnya dari
pemerintah?
Pertanyaan itu memang tepat untuk diajukan,
tetapi persis menggambarkan kesalahpahaman terhadap konsepsi masyarakat
komunis. Sistem pengaturan masyarakat komunis memang berusaha memenuhi
kebutuhan hidup setiap anggota masyarakatnya. Akan tetapi, kebutuhan yang
dipenuhi adalah kebutuhan yang bersifat mendasar, dan bukan kebutuhan akan
barang-barang mewah. Tujuan dari proses pengaturan ini adalah “untuk menjamin
kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang masuk akal.. Memang, ada pengandaian yang cukup
problematis disini. Siapakah yang punya otoritas untuk menentukan, kebutuhan
mana yang masuk akal, dan kebutuhan mana yang tidak? Jawabannya, tidak ada!
Setiap orang yang hidup di dalam masyarakat komunis sudah memiliki kesadaran penuh untuk tidak menuntut sesuatu yang
tidak masuk akal dari pemerintahnya. “Komunisme”, demikian tulis Lenin,
“mengandaikan produktivitas tenaga kerja..dan bukan… orang-orang yang memiliki
kemampuan untuk merusak kekayaan publik untuk bersenang-senang dan dengan
menuntut yang tidak mungkin.”
Di dalam masyarakat komunis, pola konsumsi
masyarakat juga akan berubah. Konsumsi akan berada di level yang lebih tinggi.
Selera masyarakat akan berubah, dan akan menjadi semakin tidak individual.
Pemerintah akan menciptakan alat transportasi publik yang nyaman, sambil secara
perlahan menghilangkan alat transportasi pribadi. Rumah mewah personal akan
digantikan dengan rumah peristirahatan publik. Klub-klub eksklusif akan
dibongkar, dan digantikan oleh arena publik yang terbuka untuk setiap orang.
Semua hal ini, menurut Lenin, akan membawa keuntungan bagi masyarakat sebagai
keseluruhan. Dan yang terutama, masyarakat akan dijauhkan dari hasrat untuk
memperoleh hak milik pribadi yang hanya boleh digunakan untuk dirinya sendiri.
Sekolah di dalam masyarakat komunis akan
mendidik setiap orang untuk tidak menjadikan konsumsi sebagai tolok ukur.
Bukanlah kemewahan dan tingkat kemampuan konsumsi yang menjadi nilai dari
seseorang, tetapi kemampuannya untuk mengapresiasi keindahan di dalam segala bentuknya, mulai dari
seni sampai ilmu pengetahuan. Keindahan tersebut tidak hanya berguna bagi orang
itu sendiri, tetapi juga bisa berguna untuk masyarakat
sebagai keseluruhan. Pola pendidikan di dalam masyarakat komunis adalah
pola pendidikan yang mengedepankan keindahandan
kesadaran orang untuk mengabdi pada kepentingan
publik.
Comments
Post a Comment