Dompet Coklat Digenggam Malaikat

Dompet Coklat Digenggam Malaikat

            ‘’ Bangun nak, sudah subuh ayo shalat dulu’’.
Dengan sabar ibu membangunkanku untuk menjalankan rukun Islam yang kedua, yakni shalat. Ibuku memang orang terbaik di dunia yang dipilihkan tuhan untuk menjaga dan merawatku. Segera ku ambil air wudlu lalu shalat jamaah dengan ayah, ibu dan adikku. Bertahun-tahun ku lalui waktu dengan keluarga yang selalu memberiku support. Sebelum kehadiran adikku, aku selalu menjadi yang nomor satu, setelah kehadirannya aku merasa kasih sayang ibu dan ayah terpecah, bahkan aku merasa ibu tak lagi sayang padaku. Suatu saat ibu mengeluarkan kata-kata yang membuatku menjadi terdiam dan menangis. Mungkin ibu sedang kesal padaku saat itu dan karena sudah ada adikku jadi aku tak sepenting dulu lagi. Tiba-tiba, waktu malam hari dikala aku sedang tertidur, ibu masuk kamarku dan membangunkanku.
             ‘’ Kakak, makan dulu ya, tadi ayah beli bakso untuk kakak’’.
            ‘’ Tadi, saya sudah makan bu’’.
            Ibu, tetap saja memaksaku untuk makan karena beliau tahu aku belum makan dari tadi siang karena aku malas makan mendengar perkataan ibu tadi siang. Setelah selesai makan ibu meminta maaf padaku atas perkataannya tadi siang. Aku juga meminta maaf pada ibu, mungkin aku nakal dan tak mau mendengar nasihat ibu sehingga ibu kesal dan marah padaku. Ibu adalah orang yang rajin, disiplin dan tak mau melihat anaknya malas. Maka dari itu, beliau mendidik anaknya dengan keras agar anaknya menjadi orang yang rajin dan disiplin seperti beliau. Kali ini aku ingin menunjukkan rasa sayangku pada ibu, setiap tanggal 22 Desember atau lebih tepatnya hari Ibu aku selalu memberikan kado untuk ibu meskipun harganya tak seberapa.
            Aku semakin yakin kalau ibuku sayang padaku, dikala aku kecelakaan waktu pulang dari bersilaturrahim ke rumah guru-guru SMP, ibuku begitu panik saat ayahku mendapat telepon dari seseorang dan memberitahu bahwa aku kecelakaan, hari itu masih dalam suasana lebaran sehingga rasa kaget ibuku semakin menjadi. Ibuku hanya bisa berdo’a agar aku baik-baik saja, dan alhamdulillah berkat do’a ibuku aku selamat dan hanya sedikit luka sehingga tidak perlu berlama-lama di rumah sakit. Seperti biasanya ketika hari ibu aku memberinya kado sarung untuk dibuat shalat.Karena beliau tak pernah menggunakan sarung,maka sarung itu diberikan kepada tanteku yang waktu itu sedang berkunjung ke rumahku.
            ‘’Kak, ibu kan gak pernah pake sarung kalau mau shalat dan ibu juga gak bisa, ibu kasih ke tante gak apa-apa?’’. Aku mau menjawab tidak, juga gak enak, jadi aku iya kan saja permintaan ibu. ‘’ Iya Bu, gak apa-apa’’.
Ya Allah aku bersusah payah untuk membeli kado itu, sebegitu tidak berharganya kah kado itu sampai ibu ku tak mau menerimanya. Aku mengumpulkan uang sedikit demi sedikit agar aku bisa membeli kado itu.. Aku hanya bisa menangis di atas sajadah, curhat kepada tuhan. Mungkin aku belum bisa membahagiakan beliau tapi aku selalu berdo’a agar aku bisa membahagiakan orang tua ku kelak ketika aku sukses. Tiap malam aku teringat kata-kataku waktu kecil.
            ‘’Ibu, nanti kalau aku besar aku ingin beli rumah, mobil dan memberi uang untuk ibu dan ayah agar kalian berdua tidak usah susah-susah bekerja’’. Dan ibu selalu menjawab demikian.
            ‘’ Iya nak, ibu do’akan agar kamu sukses dunia dan akhirat.amin’’.
            Kini aku tumbuh semakin dewasa, sebentar lagi aku harus meninggalkan keluarga dan kampung halamanku untuk merantau dan menuntut ilmu di luar kota. Sebetulnya ibu tak ingin aku kuliah di tempat yang begitu jauh, beliau ingin agar aku kuliah di dekat rumah saja agar tak jauh dari keluarga. Tapi aku ingin menjadi orang yang mandiri dan tak bergantung pada orang tua terus menerus. Lagi pula aku mendapat beasiswa di sebuah kampus negeri yang menjadi impianku sejak kecil. Malam hari menjelang hari keberangkatanku ibu dan ayah memberi nasihat padaku dengan mata berkaca-kaca.
            ‘’ Nak, kamu akan jauh dari kami, biasanya kamu ada apa-apa langsung Bu, Yah, tapi sekarang kamu harus menghadapinya sendiri, ceritalah pada kami bila kamu ada apa-apa disana’’. Pesan ayah.
            ‘’ Iya yah, saya minta do’anya supaya saya bisa membanggakan ayah dan ibu’’.
            Ibu memelukku sambil menangis. ‘’ Hati-hati nak jaga dirimu baik-baik’’.
            Kereta yang aku tunggu sudah datang dan kini saatnya aku berangkat menuju tempat dimana aku akan berusaha mengejar mimpiku menjadi seorang penulis. Setiap dua atau tiga bulan sekali aku pulang melepas kerinduanku pada ayah, ibu,adik dan kota kelahiranku. Sekarang aku sudah menginjak semester 6, mahasiswi yang sebentar lagi akan menghadapi skripsi.
            ‘’ Fahdina, biasanya kan kamu yang jualan baju dan kerudung, kini saatnya aku yang jualan dompet’’ kata temanku Intan.
            ‘’ Eemm, dompet yang coklat ini bagus, aku pesan yang kayak gini ya untuk kado ibuku yang beberapa bulan lagi ulang tahun, nanti uangnya setelah aku pulang’’. Aku teringat ibuku di rumah, ingin sekali ku berikan kado itu tepat di hari ulang tahunnya, Keesokan harinya aku pulang dan entah apa yang terjadi menjelang keberangkatanku kembali ke tempat perantauan, aku melakukan kesalahan. Aku berbicara kasar pada ibu saat itu karena suasana hatiku yang sedang kacau. Ibu marah padaku, sambil membentak-bentak meskipun aku sudah minta maaf,bahkan ketika aku akan berangkat beliau tak memberiku uang saku, tak apalah aku masih mempunyai tabungan. Tapi, untuk hal ini benar-benar membuatku sedih, beliau tak mau aku mencium tangannya.
            Sepanjang perjalanan aku hanya bisa menangis. Beberapa bulan berlalu, aku tak berani pulang untuk memberikan dompet coklat itu. Tiba-tiba aku merasakan sakit kepala yang luar bisa hingga tak sadarkan diri, ternyata kanker otak stadium akhir yang selama ini hanya ku anggap sakit kepala biasa . Mungkin tuhan ingin aku berhenti berjuang di dunia dan sudah saatnya aku kembali pada sang Pemberi Hidup . Ibuku berlinang air mata seakan belum rela melepas kepergianku menghadap Allah SWT. Intan memberikan kado yang belum sempat aku berikan pada ibu. Di dalam kado itu aku menuliskan surat untuknya. Ibu menggenggam erat dompet coklat kado dariku dan berkata bahwa beliau sudah memaafkanku.
‘’ Ibu, mungkin aku bersalah pada ibu, maaf aku belum berani pulang untuk meminta maaf dan memberikan kado ini untuk ibu. Mungkin tak berharga, tapi aku berusaha membelinya untuk ibu. Teruntuk malaikatku, aku meminta maaf dengan setulus hatiku, tak terbersit niat untuk menyakiti manusia terbaik di dunia, terima kasih telah menjaga, merawatku dan menjadikanku orang yang mengerti kehidupan.
             
            ‘
           







 
                                           

























Comments