Dafala dan Semburat Mimpi




       


              Angin menyapaku pagi ini. Dengan kelembutannya, ditemani sunyi dan sepi desa Dafala aku menemukan belahan jiwa yang hilang. Takdir membawaku bertemu orang yang pernah ku temui 5 tahun lalu. Yah, waktu yang cukup lama. Sejak menuntut ilmu di bangku kuliah aku mulai tertarik untuk mengajar anak-anak di pelosok atau perbatasan Indonesia. Hal itu sangat menarik bagiku. Dengan segala keterbatasan yang ada, kita dituntut untuk memberikan pendidikan yang sama dengan anak-anak di perkotaan. Disitulah kreativitasku diuji.

        Bu Retno adalah guru SD ku. Ia sabar dan tegas menghadapi murid-muridnya. Cara mengajarnya menarik, selalu melibatkan alam dan memberikan contoh kehidupan sehari-hari membuat kami menjadi lebih cepat paham. Disaat itulah aku ingin sekali menjadi guru yang baik seperti Bu Retno. Ia selalu tersenyum saat kami menyapa. Ia tak pernah pilih kasih dan selalu membangun semangat kami untuk berjuang. Guru dari Surabaya ini berhasil menanamkan jiwa nasionalisme pada kami anak didiknya. Aku bersyukur masih bisa merasakan pendidikan yang layak.

         Masa SMA, orang bilang adalah masa terindah. Memang benar. Aku menjalaninya dengan bahagia dan mengembangkan bakat yang tuhan titipkan padaku. Aku juga bertemu sosok inspiratif. Ia tinggi, kulitnya sawo matang dan manis. Ia sangat humoris, kocaklah pokoknya. Tapi jangan salah walaupun kocak dan humoris ia tidak gampang tertarik dengan perempuan meskipun banyak yang berusaha merebut perhatiannya.
       
         Aku tak pernah berbicara dengannya meskipun kami satu kelas. Aku dikenal sebagai orang yang pendiam. Jikalau bertemu dan berpapasan dengannya dan aku sedang sendirian hanya senyum yang bisa ku lakukan. Demikian pula dirinya. Aku bergabung dengan tim jurnalis sekolah. Suatu hari aku ditugaskan untuk meliput Ihsan, kapten kesebelasan sekolahku. Aku sempat menolak namun teman-teman tim jurnalis memaksaku dengan dalil aku satu kelas dengannya.

         Satu kelas bukan berarti aku akrab dengannya. Ya sudahlah ku iyakan saja untuk wawancara atlet sepak bola sekolah itu. Deadline sudah esok hari. Aku diberi waktu satu minggu. Sudah lima hari aku tak bisa tidur memikirkan laporan ini. Besok sudah hari Sabtu dan Minggu sekolah libur. Senin laporan dikumpulkan. Sabtu adalah hari latihan Ihsan dan timnya.
     
         Dari pagi aku mengumpulkan keberanian untuk bisa mendapatkan info tentang dirinya. Bel berbunyi tanda istirahat. Aku pergi ke perpustakaan mencari buku tentang sepak bola agar tidak kikuk saat mewawancarai Ihsan. Setelah selesai membaca aku keluar. Tiba-tiba lewat seorang lelaki. Yah, itu adalah Ihsan. Entah kenapa mulutku reflek tiba-tiba memanggilnya.
“Ihsan”
Ia menoleh ke belakang dan tersenyum. Dia berjalan mendekat ke arahku. Aduh rasanya kaki dan tanganku gemetar. Apa yang harus aku tanyakan nanti.
“Iya, ada apa Alifah?”
Ku jelaskan maksud dan tujuanku yang sebenarnya. Akhirnya dia mengajakku masuk lagi ke perpustakaan untuk wawancara. Ternyata ia sangat ramah. Walau disini aku adalah wartawan ia malah lebih sering memancingku untuk berbicara. Dia bahkan mengajakku bercanda mengenai ketakutanku mewawancarainya.
“Alifah, gitu aja takut emang aku hantu?”

         Aku hanya membalasnya dengan tersenyum. Sejak saat itu ia mulai menyapa dengan memanggil namaku saat bertemu. Kelas XI kami berpisah, beda jurusan. Aku di jurusan bahasa sedangkan ia di jurusan IPS. Kami tetap menjalin komunikasi meskipun jarang. Di sekolah pun kami jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Ketika sama-sama ada waktu luang ia mengajakku ke perpustakaan untuk sekadar sharing atau makan di kantin sekolah. Sering sekali ia memberiku motivasi untuk maju.

       Ia memiliki cita-cita yang mulia. Ihsan ingin menjadi tentara agar bisa menjaga tanah air tercinta. Lulus SMA, aku melanjutkan ke perguruan tinggi sedangkan Ihsan mewujudkan mimpinya menjadi tentara. Dibalik ketegarannya yang selalu memberikan motivasi ternyata ada jiwa pesimisme dalam dirinya. Waktu itu hanya kalimat ini yang ku katakan.untuk mengurangi rasa pesimis itu.
Kamu harus bermimpi Ihsan, kalau bermimpi saja tak berani bagaimana kamu bisa melakukan langkah besar.
“Katanya kau ingin jadi tentara”.
Alasannya pesimis cukup logis. Ia mengatakan jika pendaftar pasti sangat banyak dan tetangganya sudah lima kali gagal. Alasan berikutnya adalah ia bukan dari keluarga kaya.
“Terus apa hubungannya Ihsan?” ku tanya dia lagi. Kalau memang rezeki pasti kamu berhasil, biasanya kamu yang motivasi aku, mana sekarang semangatmu.”

  Kami terpisah dan loss contact. Menjadi guru seperti bu Retno adalah impianku dari kecil. Setelah lulus S1 aku minta izin keluarga untuk ikut salah satu program mengajar bagi guru di daerah-daerah pelosok Indonesia. Alhamdulillah, izin sudah ku kantongi dan aku lolos. Senang bukan main.  Aku ditempatkan di desa Dafala kec .Tasifeto Kab. Belu Nusa Tenggara Timur. Rasanya jauh sekali dari Jawa. Ku tinggalkan keluarga dan sahabat di sana. Ku mulai lembaran hidup baru di NTT. Sejak awal kedatanganku, keramahan masyarakat dan anak-anak kecil disana menyambut. Yah, aku sendirian. Aku terbiasa hidup sendiri di tanah perantauan.

Di minggu-minggu awal aku harus beradaptasi dengan lingkungan baruku. Sepertinya masyarakat disini mayoritas beragama Kristen namun sangat menghargai perbedaan. Kerudungku tak jadi masalah buat mereka.

Di hari pertama mengajar aku sudah dibuat gembira oleh kepolosan anak-anak desa Dafala. Aku berangkat bersama salah satu guru di SD tempatku mengajar. Sampai di sekolah kami disambut oleh beberapa orang tentara yang juga turut membantu mengajar disana dan guru-guru lainnya. Oh tak hanya menjaga daerah perbatasan saja toh, ternyata mengajar juga menjadi salah satu misi para penjaga NKRI ini. Bangga aku melihatnya. Setelah ku amati satu persatu dari tiga orang TNI yang membantu mengajar, ada wajah yang sepertinya aku tak asing dengannya. Mereka menyambut kedatanganku. Dia tersenyum kepadaku dengan ekpresi kaget. Ya Allah ternyata Ihsan. Selesai mengajar ia menemuiku dengan senyum terus mengembang. Ia senang bisa bertemu lagi denganku setelah sekian tahun kami berpisah tanpa berkomunikasi sama sekali.

Cara kami mengajar sangat berbeda. Aku yang memang dicetak untuk menjadi seorang guru telah dilatih selama kuliah, dan alhamdulillah anak-anak senang dengan metode yang aku terapkan. Sedangkan Ihsan yang berlatarbelakang tentara mengajar anak-anak dengan penuh semangat dan disiplin tinggi. Anak-anak sering menyanyikan yel-yel agar semangat. Keren.
Ihsan sempat mengatakan jika mengamankan perbatasan jauh lebih mudah dibanding mengamankan suasana kelas. Tapi aku salut dengan Ihsan yang berusaha keras menghidupkan kelas. Terkadang ia memintaku untuk sharing agar bisa mengkondisikan kelas dengan baik.
Diam-diam tanpa sepengetahuanku ia membuat video ulang tahunku bersama anak-anak Dafala. Ternyata masih ingat juga dia. Satu persatu dari anak-anak manis ini membuat tulisan.
Selamat ulang tahun kak Alifah
Dari…

          Diakhiri dengan berkumpul dan mengucapkan selamat ulang tahun bersama-sama. Video itu tidak dia berikan sendiri melainkan menitipkannya pada salah satu murid. Yah, Tito adalah murid yang selalu berangkat lebih awal dari teman-temannya. Ia memberikan sebuah kotak yang dibungkus rapi warna coklat. Memang bukan kertas kado tapi kertas yang biasanya dibuat untuk mengirim paket. Aku senang, berbeda dari ulang tahunku sebelumnya. Tito datang ke rumah tinggalku dan memberikan kotak itu.
“Ibu, ini ada titipan dari bapak tentara.”
“Terima kasih ya nak.”

         Didalamnya ada sebuah buku dan flasdisk lengkap dengan surat. Ku buka suratnya. Ada instruksi untuk membuka isi yang ada di flaskdisk itu. Ku nyalakan laptop. Betapa terkejutnya aku melihat video ini. Kapan ia membuatnya. Salam manis dari anak-anak Dafala membuat ulang tahunku kali ini terasa sangat bermakna. Eitz, ternyata ada dua video. Video yang kedua khusus dari Ihsan sendiri berisi ucapan darinya. Pelan-pelan video itu berjalan dan ia mengungkapkan perasaannya.
Ihsan meminta maaf karena tak bisa mengungkapkannya secara langsung. Dari awal masuk SMA ia telah menaruh hati padaku namun tak bisa ia mengucapnya. Ketika masa tugasnya berakhir ia ingin datang ke rumah dan melamarku. Masa tugasku akan berakhir lebih awal darinya. Ihsan dan aku mempunyai mimpi yang sama. Kami ingin membantu membangun negeri indah ini bersama-sama.



Comments