Ia tertidur lelap di balik selimut
tipisnya, berharap setelah terbangun ibunya akan kembali ke dunia. Namun Allah
sudah menghendaki bahwa ibunda tercintanya harus berpulang ke rahmatullah. Saat
terbangun, matanya langsung menatap ke arah dua adiknya . Adik pertamanya
berusia 19 tahun sedangkan adik keduanya berusia 9 tahun. Rasanya seperti mimpi,
ibu yang sudah merawatnya selama 22 tahun ini tak lagi bisa memasak masakan
kesukaannya.
Ia bimbang lanjut kuliah atau harus
berhenti di tengah jalan membantu ayahnya bekerja. Saat ini adiknya sedang
kuliah di semester empat di sebuah perguruan tinggi. Laras, adik perempuannya
rela kuliah sambil bekerja demi bisa bertahan hidup.
“Fahmi, kamu lanjutkan kuliahmu nak,
jangan sampai berhenti di tengah jalan”
“Tapi Pak?” belum selesai bicara
bapaknya memotong.
“Kamu sudah menunda kuliahmu selama 1
tahun untuk bekerja, kurang setahun lagi kamu lulus Fahmi”.
Bapaknya berharap agar Fahmi dan Laras
bisa menjadi sarjana seperti yang diharapkan bapak dan almarhumah ibunya. Tujuh
hari sudah ibunya pergi ke dunia dimana manusia akan kekal di dalamnya. Dua
hari berikutnya ia kembali pergi ke kampusnya di luar kota meninggalkan
keluarga di tanah kelahiran. Untunglah Laras kuliah di kota sendiri. Jadi, ada
yang merawat bapak dan adiknya di rumah.
Banyak ucapan belasungkawa dari
rekan-rekannya di kampus, termasuk dari seseorang yang diam-diam dikaguminya.
Fahmi menyimpan rasa yang sudah tertanam dalam hatinya sejak tiga tahun lalu.
Ia tak berani mengungkapkannya. Selain enggan berpacaran terlebih dahulu, ia
ingin fokus meraih cita-cita dan mimpinya sebagai seorang arsitek. Fahmi tak
salah memilih langkah, gadis pujaannya pun tak ingin berpacaran, ia ingin
langsung menikah. Namun, bukan berarti gadis tersebut mempunyai perasaan yang
sama kepada Fahmi.
“Fahmi, boleh minta tolong sebentar?”
Ia langsung menoleh ke belakang dan
betapa terkejutnya ia ketika tahu Aisyah yang memanggilnya.
“Boleh, minta tolong apa?”
“Aku nitip buku ini ya nanti tolong
kasihkan ke Dewa, satu kos kan?”
“Oh iya”
“Makasih”
Aisyah memang agak pendiam, tapi
untunglah Fahmi pandai memulai pembicaraan dan mencairkan suasana. Waktu terasa
bergulir secepat kilat, baru masuk kuliah kini Fahmi sudah harus menghadapi
kerasnya mengerjakan skripsi. Kepalanya terasa pening dan rasa kantuk berat
mulai menyerang Fahmi. Ia keluar pergi mencari cemilan dan minuman penghilang
rasa kantuk.
“Mas, besok kita libur ya lesnya”
“Eh Rifki, loh kenapa kok libur, besok
kita jadwalnya les matematika lho?”
“Besok, aku ada turnamen sepak bola
antar SD se kabupaten kak”
“Oh ya udah yang penting Rifki kasih
kabar ya kalau mau libur”.
Fahmi mendapat berkah di malam itu. Ia
bertemu murid les dan ayahnya. Fahmi dan temannya pun tak mengeluarkan uang
sepeser pun. Ayah Rifki membayar semua yang dibeli Fahmi dan temannya. Di
tengah perjalanan pulang, Fahmi dan temannya berbincang-bincang. Arya temannya,
menggoda Fahmi. Tak sengaja Fahmi keceplosan menyebut nama Aisyah, dan tak
henti-hentinya Arya menggoda lelaki alim ini.
“Jadi selama ini kamu suka sama Aisyah,
anak sastra Inggris itu”
“Hussss, jangan kencang-kencang nanti
ada yang dengar”
Keesokan harinya, dua insan beda
fakultas ini bertemu di sebuah toko buku. Sungguh tak menyangka ia disapa oleh
gadis manis yang satu ini. Bagai durian runtuh, tak hanya disapa, Aisyah memberinya
sebuah buku tentang arsitektur.
“Fahmi, buku ini cocok buat kamu” sambil
menyodorkan buku tersebut.
“Wah, ini buku yang aku cari selama ini,
Aisyah dapat darimana?”
“Kemarin aku dari Jogja, terus ketemu
buku ini”
“Berapa ini?”
“Ambil aja”
Mereka akhirnya pulang bersama berjalan
kaki menyusuri tiap sudut kota Surabaya. Mereka berdua bertemu saat OSCAR,dan
beberapa kegiatan kampus telah berhasil mempertemukan mereka. Meski banyak yang
menyukai Aisyah, namun ia tetap setia dengan pilihannya menjomblo sampai halal.
Tapi siapa sangka ternyata Aisyah menyimpan rapi hatinya untuk seseorang yang
saat ini menuntut ilmu jauh di sana. Lelaki itu adalah temannya ketika les
semasa SMA dan satu tahun lebih tua darinya. Meski sama-sama mencintai dalam
diam, namun kedua insan ini mampu menjaga hati mereka hingga belum ada yang
mampu menggoyahkan.
Fahmi memang bukan seseorang yang ganteng,
namun ia pandai,berwibawa,berkharisma dan sholeh.Beda dengan lelaki yang
diam-diam ditunggu Aisyah itu, ia ganteng, keren, pintar, sholeh dan seorang
atlet basket ketika SMA. Bisa dibilang sesuai selera Aisyah,karena ia suka
dengan yang berbau-bau atlet, yah, memang cita-citanya menjadi atlet
bulutangkis. Namun, orang tua tak begitu menyetujui dan lebih suka ia menjadi
seorang akademisi.
Hari ini menjadi hari yang bersejarah
buat Fahmi, Arya dan Aisyah. Mereka akan mengenakan toga kebesaran dan menerima
ijazah. Keluarga mereka datang dan menjejakkan kaki di kota Surabaya. Rasa
senang, bangga dan haru bercampur menjadi satu. Saat akan menemui keluarganya,
di tengah perjalanannya Aisyah bertemu dengan keluarga Fahmi. Ia pun mampir
walau hanya sekedar menyapa.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”, jawab mereka.
“Pak, kenalkan ini Aisyah teman Fahmi”
Ia meletakkan tangannya di depan dada
kecuali dengan Laras ia bersalaman. Setelah itu ia pamit untuk menemui
keluarganya.
“Mas, mbaknya cuantik, cocok karo sampeyan”
celetuk Laras.
“Huss, ngomong apa kamu, dia itu lulus
cumlaude”
“Sama toh, mas juga kan?”
Aisyah memang ingin melanjutkan S2 di
luar negeri, namun tiba-tiba keinginannya itu sedikit memudar. Sebagai anak
pertama, ia ingin bekerja dulu membantu membiayai sekolah adik semata wayangnya
dan sedikit mengabaikan beasiswa tahun ini. Rezeki, jodoh dan mati seseorang
tak ada yang tahu, kecuali Allah SWT.
Aisyah tak henti-hentinya bersyukur
setelah berjuang melawan pelamar lainnya, akhirnya ia berhasil masuk menjadi
translater di sebuah perusahaan ternama di Surabaya. Sebelumnya ia penah
mendapat tawaran bekerja di Jakarta, namun orang tuanya tak memberi restu. Satu
tahun berjalan, dan ada seseorang mengirimkan sebuah pesan di facebook. Yah,
itu adalah Rio,lelaki yang selama ini diam-diam dikaguminya. Begitu juga
sebaliknya.
Pesan itu berisi bahwa ia akan melamar
Aisyah dan minta alamat rumahnya. Namun ia juga tak lupa menanyakan terlebih
dahulu apakah Aisyah masih belum ada yang meminang.Tentu saja Aisyah menjawab
belum ada yang datang untuk meminang. Rio akan datang dua hari lagi setelah
kedatangannya dari luar negeri. Kini ia telah lulus S2 dan sudah ada perusahaan
yang memintanya bergabung. Betapa bahagianya Aisyah mendengar berita itu.
Sore ini Aisyah pulang ke rumah
mengobati rasa rindunya bertemu keluarga setelah lumayan lama ia tidak pulang.
Dua jam perjalanan akhirnya sampai juga ia di kota kelahiran. Waktu magrib
hampir habis, ia memutuskan shalat di sebuah masjid setelah turun dari kereta.
Selesai shalat ia bertemu teman SMA nya dan akhirnya pulang bareng. Setelah
sampai rumah, ada sebuah sepeda motor terparkir di halaman rumahnya.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, kok gak ngasih tahu
bapak, gak minta jemput”
“Iya Pak, tadi ketemu temen terus
bareng”
Ia tak menyangka Fahmi ada di ruang tamu
rumahnya bersama ibu dan bapaknya. Ia kaget dan sedikit penasaran, ada angin
apa tiba-tiba Fahmi ke rumahnya. Darimana ia tahu rumahku, gumamnya dalam hati.
Fahmi mempersilahkan Aisyah untuk istirahat atau makan terlebih dahulu. Ia
menyadari Aisyah pasti lelah baru pulang.
Sekitar 10 menit Aisyah makan karena ia
memang sudah lapar sekali. Sengaja tak makan dari tadi demi menyantap masakan
istimewa ibunda. Setelah itu ia keluar lagi menemui Fahmi. Sebetulnya Fahmi sudah
menyampaikan maksud dan tujuannya kepada orang tua Aisyah, namun kebetulan
Aisyah datang, ia menyampaikan kembali.
Betapa terkejutnya Aisyah, ia seperti
mimpi di siang bolong. Tak ada angin tak ada hujan Fahmi tiba-tiba datang
melamarnya. Aisyah hanya bisa terdiam tanpa sepatah kata pun. Kedua orang
tuanya sangat menyukai sosok Fahmi yang berwibawa, kalem, sopan dan sholeh. Rasa-rasanya
kata-kata ibu dan ayahnya seperti mengarahkannya untuk menerima pinangan Fahmi.
Tanpa mengurangi rasa hormat, ia memberitahu tentang niat baik Rio yang juga
ingin meminangnya. Untuk menghormati Aisyah orang tuanya mengizinkan untuk
menunggu Rio terlebih dahulu.
Aisyah terus berfikir tentang Fahmi yang
tiba-tiba datang ke rumahnya. Jadi selama ini Fahmi suka denganku, gumamnya
dalam hati. Selama ini tak pernah ada tanda-tanda kalau Fahmi menyukainya. Apa
mungkin aku yang gak peka, pertanyaan-pertanyaan itu terus ada di pikirannya.
Hingga waktu yang
tlah ditunggu tiba, Rio datang ke rumah Aisyah. Orang tuanya menyambut dengan
baik. Setelah dipikir dan ditimbang mereka mengatakan bahwa lebih setuju putri
sulungnya menikah dengan Fahmi. Untuk mencapai keputusan terbaik shalat
istikharah adalah jalan terbaik. Tak hanya Aisyah dan orang tua, bahkan kyai
tempat dimana Husna menuntut ilmu agama pun dimintai tolong untuk shalat
istikaharah. Dari semua jawaban, hasil lebih condong ke Fahmi, kecuali Aisyah
yang belum menemukan jawaban dalam mimpinya.
Meski awalnya sempat
memberontak, dengan berat hati ia mau menerima Fahmi dan meninggalkan Rio yang
selama ini ia tunggu. Rio tak bisa berbuat apa-apa lagi, ia tak sanggup melawan
takdir. Gadis yang ia tunggu selama bertahun-tahun harus menikah dengan orang
lain. Ingin sekali ia memperjuangkannya, namun keputusan orang tua Aisyah sangatlah
kuat, sekuat tembok besar di Cina yang tidak mudah diruntuhkan.
“Buk, Pak apa alasan
ibu dan bapak memilih Fahmi?”
“Nduk, Fahmi itu
pekerja keras, dia bertanggung jawab insyaAllah akan bisa membimbingmu lebih
dekat ke syurga Allah” kata bapaknya.
“Dia juga sudah ndak
punya ibu nak, ibu ingin kamu merawatnya dengan baik nantinya, insyaAllah dia
akan jadi suami yang baik, lagi pula kamu tahu sendiri kan hasil dari shalat
istikharahnya”
Mendengar jawaban
seperti itu hati Aisyah rasanya hancur berkeping-keping. Ia mendapat libur
lumayan lama sekitar satu minggu. Belum genap satu minggu, ia memutuskan
kembali ke Surabaya. Hari lamaran yang mempertemukan kedua keluarga besar pun
dilaksanakan. Aisyah terlihat cantik dengan balutan kebaya muslim. Ia tak berbicara
sedikit pun pada Fahmi. Bahkan ketika Fahmi mengirim sms atau media sosial
lainnya ia jarang membalas. Telpon pun jarang diangkat.
Pernikahan mereka
tinggal sebulan lagi. Fahmi tak mau membiarkan hal ini terus menerus. Bagaimana
bisa seseorang membina rumah tangga dengan komunikasi seperti ini. Disaat
mereka berdua sama-sama libur,Fahmi mendatangi tempat kerja Aisyah di Surabaya
tanpa memberitahunya. Telpon Aisyah berdering dan ternyata dari Fahmi. Ia sudah
berada di depan kos Aisyah. Dengan terpaksa dan sedikit perasaan takut ia
mendatangi calon suaminya itu.
“Ada apa” Tanya
Aisyah cuek.
“Aisyah gimana
kabarnya?”
“Baik, mau ngapain?”
Fahmi mengajak Aisyah
keluar dengan alasan ingin mengajaknya makan siang. Aisyah tetap saja dingin
kepadanya. Fahmi mencari inisiatif untuk dapat mencari suasana yang pas agar ia
bisa berbincang dengan Aisyah. Mereka pun shalat dzuhur tanpa berjamaah, yah
kalau belum resmi menikah dan hanya dua orang yaitu lelaki dan perempuan lebih
baik shalat sendiri-sendiri. Setelah suasana makin tenang Fahmi mengajak Aisyah
ngobrol di teras masjid. Disitulah akhirnya semua terpecahkan.
“Aisyah, sebelumnya
aku minta maaf pernikahan kita kurang sebulan lagi, bagaimana kalau kita
seperti ini terus, kalau Aisyah memang tidak mau apakah sebaiknya dibatalkan
saja?”
Ia belum bisa
memberikan jawaban, hanya air mata yang mengalir deras membasahi kedua pipinya.
Ia bingung bagaimana harus menjelaskan semuanya pada Fahmi.
“Tidak, jangan
dibatalkan, aku tidak ingin melukai hati kedua orang tuaku, mereka tidak pernah
meminta apapun dariku, hanya ini yang mereka minta”.
Fahmi memahami betul
gejolak batin Aisyah, namun ia terlanjur sayang. Aisyah.sendiri mengatakan
kalau ia tidak mau dibatalkan, Fahmi memohon dengan sangat agar Aisyah tidak
bersikap dingin seperti ini. Ia mengangguk pelan sambil menyeka air mata yang
mengalir deras itu. Sekali lagi Fahmi bertanya apakah ada orang lain yang juga
melamar Aisyah. Ia pun menceritakan semuanya. Fahmi semakin merasa bersalah dan
meminta maaf.
“Jangan meminta maaf
Fahmi, kamu tidak salah, aku yang harus minta maaf”.
Setelah pertemuan itu
hubungan mereka semakin membaik dan Aisyah tak lagi bersikap cuek. Seminggu
sebelum hari pernikahan, mereka izin cuti mempersiapkan. Selain fisik dan financial,
mental juga tak kalah pentingnya untuk dipersiapkan. Saat Fahmi menjabat tangan
ayah Aisyah dan mengucapkan ijab qabul, keluarga dan teman yang hadir terharu.
Pengantin wanita terpisah dari mempelai pria. Mempelai wanita berada di dalam,
setelah ijab qabul selesai ia keluar.
Dengan kebaya muslim
putih Aisyah keluar dan menyalimi Fahmi. Hari itu juga mereka menggelar acara
resepsi pernikahan. Mereka terlihat bahagia. Demi menghargai Aisyah, Rio datang
di acara pernikahan gadis yang ia nanti bertahun-tahun itu. Ia seakan tak
sanggup melihat Aisyah duduk di pelaminan dengan orang lain.
Ia berusaha
mengumpulkan segenap tenaga untuk datang. Ketika memasuki area resepsi air mata
Rio menetes. Dengan segera ia mengusapnya dan bersikap tenang agar terlihat
tegar. Disana, ia bertemu beberapa teman les nya dulu. Mereka pun bergurau
bersama. Diantara mereka tak ada satu pun yang tahu kalau Rio menyukai Aisyah.
Mereka tidak tahu betapa hancurnya hati Rio saat itu. Tak lupa mereka memberi
ucapan dan berfoto ria bersama kedua mempelai. Kini, Rio ada di depan Aisyah.
Tubuhnya lemas tak bertulang melihat orang yang ditunggunya selama ini ada di
depan matanya. Ia hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas
kedatangannya.Rio menyalami Fahmi sambil membisikkan kata-kata.
“Mas, tolong jaga dia
dan jangan sakiti dia “
“Iya mas” sambil
tersenyum.
Air mata Aisyah sudah
ingin keluar dari tadi. Tapi, ia tak mungkin menampakkan kesedihannya itu di
depan para tamu undangan. Ia juga sangat menghargai Fahmi yang kini syah dan
resmi menjadi suaminya. Ia tak mau melukai hati suaminya.
Kehidupan yang
sesungguhnya adalah setelah mereka menikah.. Hari terus berlalu,sejak awal
pernikahan sampai tiga bulan berikutnya, sikap Aisyah kembali sedikit dingin
kepada Fahmi. Namun, Fahmi tak henti-hentinya memberikan perhatian untuk istri tercintanya
itu. Bahkan, ia belum pernah menjamah tubuh istrinya setelah menikah. Aisyah tahu,
bersikap seperti itu dilarang agama, tapi hatinya masih belum bisa menerima
Fahmi seikhlas ketika menolak Fahmi membatalkan pernikahan mereka.
Suatu hari Aisyah
pergi ke supermarket sendirian dan tanpa sengaja bertemu Rio. Mereka berbincang-bincang
sedikit. Rio masih menyimpan rasa kepada Aisyah yang sudah menikah itu. Tiba-tiba
ponselnya berdering. Pagi tadi Fahmi pamit kepada Aisyah untuk pergi ke luar
kota. Disana ada proyek baru dan pesawat yang ditumpangi Fahmi mengalami
kecelakaan karena cuaca buruk. Aisyah yang mendapat kabar itu langsung
berangkat ke tempat kejadian. Ia mendapati suaminya sudah tak bernyawa lagi.
Ia sedih dan
menangis, teringat semua perlakuannya kepada Fahmi. Keluarga berusaha
menenangkan Aisyah. Setelah masa iddah selesai Aisyah baru bisa keluar rumah.
Tak pernah lupa ia mendo’akan Fahmi yang pergi mendahuluinya. Bagaimanapun
juga, Aisyah adalah manusia biasa, ia juga ingin berbahagia dalam indahnya
rumah tangga. Ia sempat berharap bahwa ia bisa bersatu kembali dengan Rio. Namun,harapan
itu perlahan mulai sirnah ketika tahu Rio sudah mempunyai calon.
Ingin sekali Rio
membatalkan pernikahannya dan menikahi Aisyah. Tapi ia tak boleh gegabah,
pernikahan dan perasaan wanita bukanlah mainan yang bisa dibatalkan seenaknya
sendiri. Gelisah dan resah mulai menghampiri Rio. Ia tak memberitahu Aisyah bahwa
ia telah memiliki calon karena ia tak ingin membuatnya sedih.
Aisyah ikhlas
menerima semua takdir itu. Meski pahit tapi itu adalah takdir yang harus ia
jalani. Ia percaya Allah akan memberikan jalan terbaik untuk dia dan
kehidupannya. Rio pun tak kuasa mengundang Aisyah untuk datang di acara
pernikahannya. Aisyah tak boleh terus larut dalam kesedihan.Kehidupan harus
terus berputar. Kini, Aisyah masih menanti belahan jiwanya yang saat ini masih
disimpan Allah untuknya.
Comments
Post a Comment