Wanita dan Mimpi Penghias Takdir



            Kekecewaan mendalam menghampiri Safa. Impiannya untuk kuliah di Malang harus pupus. Tetapi Fahri teman seperjuangannya tak berhenti disitu saja untuk berusaha. Ia mengunjungi temannya di kota yang terkenal dengan sotonya itu. Fahri meminta tips kepada temannya agar ia bisa diterima di PTN tujuan lainnya di Surabaya. Ternyata rumah mas Andri adalah tempat nongkrong anak-anak muda so, Safa,Nina dan Fahri bisa bertemu kaum-kaum muda dari kota yang terkenal dengan klub persela tersebut.
            “Safa, kamu tak jodohin sama Yuda ya?” kata mas Andri.
            “Emang Yuda yang mana mas?” Tanya Safa
            “ Yang itu, sambil menunjuk”.
            “Gak mau mas, jelek, lagi pula aku uda punya pacar”.
            Saat itu di rumah mas Andri sedang ada acara. Yuda membantu mencuci piring di belakang. Berjarak hanya beberapa jengkal kaki dari jarak Yuda berjalan terdengar suara berbisik. Dan ternyata itu adalah suara Nina dan Safa. Mereka berdebat tentang baju Yuda. Nina berargumen bahwa Yuda adalah yang berbaju merah sedangkan Safa memiliki pandangan Yuda pria berbaju pink tadi. Mendengar suara berbisik Yuda menghampiri mereka.
            “Ada apa mbak, kok pink merah pink merah” .
Mereka  berdua hanya tertawa dan kaget melihat orang yang mereka perdebatkan berdiri di depan mereka. Waktu menunjukkan pukul 21.00 waktu lamongan.Tiba-tiba mas Andri mengeluarkan ultimatum mengajak seluruh manusia-manusia yang ada di rumahnya saat itu untuk membeli bakso. Nah, Safa mulai kebingungan lagi siapa yang memboncengnya pergi ke tempat bakso. Dengan sigap Yuda langsung menjawab bahwa ia yang akan memboncengnya.
Keesokan harinya mas Andri meminta Yuda untuk mengantar  Safa pulang ke rumahnya.Rumah Safa tidak jauh dari Lamongan, hanya berkisar antara lima belas sampai dua puluh menit. Di tengah-tengah perjalanan mereka jarang berbicara, mungkin belum kenal lama menjadikan suasana sedikit krik krik. Sebelum sampai di rumah Safa, Yuda mengemudikan  motornya ke lain arah. Arah berbelok ke rumahnya. Safa bingung dan bertanya mengapa harus mampir ke rumah Yuda terlebih dahulu. Lelaki berambut panjang itu beralasan ingin ganti baju dulu.  Di rumah, kakak iparnya bertanya siapa gadis cantik yang ia ajak ke rumahnya itu. Yuda menjawab bahwa Safa adalah temannya. Ganti baju hanyalah alasan Yuda saja. Tetapi tujuan sebenarnya adalah agar orang tuanya mengetahui sosok Safa. Takdir berkata lain, di rumah hanya ada kakak iparnya.
Waktu terus berlalu dan PDKT pun juga berlanjut.  Seperti anak muda pada umumnya, telpon, sms an, yah tak jauh-jauh dari beberapa kebiasaan itu. Waktu itu belum ada BBM, zaman masih belum se modern sekarang. Kedekatan Safa dan pacarnya lama kelamaan mulai merenggang. Orang tua Yuda mulai tahu siapa perempuan yang kini dicintai anaknya. Safa mulai dilanda kebimbangan ketika sudah dikenal keluarga Yuda. Lain halnya dengan Yuda yang sejak awal memang sudah mencintai Safa. Akhirnya Safa memutuskan Arga, pacarnya. Arga sangat menolak keputusan Safa. Namun apa daya keputusan Safa sudah bulat dan tak dapat diganggu gugat lagi. Dengan berat hati Arga menerima tetapi hatinya masih tak terima kepada orang yang sudah merebut hati pacarnya itu.
Sebelum jadian dengan Arga Safa sempat menjalin cinta dengan Riki. Safa sempat merasakan galau mendalam tingkat dewa ketika kisah cintanya dengan Riki harus berakhir. Maklumlah, Riki memang ganteng dan membuat Safa susah move on dalam waktu yang lumayan lama. Rasa sakit itu akhirnya terobati dengan kehadiran Arga. Dan lagi-lagi takdir berkata lain, kisahnya dengannya Arga juga berakhir namun kali ini ia menjadi pihak yang memutus bukan yang diputus seperti ceritanya dengan Riki. Safa membelikan sebuah kado istimewa untuk Riki sebelum hari H ulang tahun. Sebelum hari ulang tahun Riki tiba, mereka sudah terlebih dahulu putus. Meski sudah putus Safa masih menyimpan rapi kaos yang akan ia berikan kepada Riki sebagai kado ulang tahun. Jarum jam terus berlalu dan rasa sakit yang dialaminya rasanya abadi bersemayam di lubuk hatinya yang paling dalam. Hampir setiap hari air matanya menetes membasahi pipinya mengingat semua tentang Riki.
Hubungannya dengan Riki memang menjadi salah satu bagian terindah dalam hidupnya. Dia mengatakan hampir seperti orang gila kala ingat kegalauannya dulu. Bahkan kehadiran Arga pun masih belum bisa mengalahkan pesona Riki yang bak arjuna itu. Paling tidak kegalauan Safa bisa sedikit tertutupi dengan kebahagiaan yang ia rasakan bersama Arga. Hingga kini kaos itu tak terjamah sedikitpun oleh tangan mungil Safa. Sampai putus dengan Arga kaos tetap tersimpan rapi di lemari. Meskipun belum resmi ada kata jadian dari mulut Safa dan Yuda namun kebersamaan dan kedekatan mereka sudah bisa mewakili. Berhari-hari Safa berfikir apakah kaos itu akan ia berikan kepada Yuda atau akan tetap ia biarkan rapi di lemari menunggu pangeran yang tepat untuk menerima kaos berwarna putih. Setelah berfikir dan menimbang ia memutuskan untuk memberikan kaos putih itu kepada Yuda. Safa pun juga menjelaskan bahwa kaos tersebut sebenarnya untuk seseorang.
“Kaos ini sebenarnya buat mantanku mas, tapi sebelum hari ulang tahunnya tiba kita udah putus”.
“Jadi, ini sisa?” Tanya Yuda dengan nada bercanda.
Safa merasa tidak enak ketika putus dengan Arga karena Arga adalah teman Nina. Sedangkan Nina adalah teman baik Safa. Nina adalah orang yang baik, jadi ia tidak keberatan bila memang Safa lebih nyaman dengan orang lain dari pada dengan Arga. Toh cinta yang dipaksa juga tak akan bertahan lama atau bahkan akan membuat sakit yang menjalani.
Semakin lama Yuda dan Safa semakin intens berkomunikasi. Mereka layaknya orang pacaran namun tak ada kata jadian. Sepertinya Yuda menganggap bahwa mereka telah resmi jadian meski tak pernah mengungkapkan secara langsung kepada Safa. Seperti kebanyakan laki-laki lainnya yang menunjukkan rasa cinta melalui perbuatan dari pada hanya sekedar ucapan di bibir saja. Hal itu membuat Safa penasaran ingin menanyakan hal itu kepada Yuda. Perempuan mana yang mau menerima sebuah hubungan tanpa ada ungkapan resmi. Ketika Safa dan Yuda asik telepon tiba-tiba Safa bertanya.
“Mas, sebenarnya kita ini apa sih?”
“Maksudnya apa, gimana?”
“Emang kita ini jadian ya mas?”
“Loh, terus kalau gak, apa dong kamu uda kenal keluargaku, aku juga uda beberapa kali ke rumah kamu Safa”.
“Tapi, gak pernah ada kata jadian diantara kita mas”.
“Safa, kata jadian itu gak penting kaya anak kecil aja, kita sama-sama suka, orang tua juga suka  ya udah lanjut” jawab Yuda tegas.
Sejak saat itu hubungan mereka serasa teresmikan dengan ucapan Yuda tadi. Safa pun ikut merasa lega karena rasa keingintahuannya terjawab sudah. Dalam budaya Jawa, biasanya sebelum menikah harus melalui perhitungan dahulu. Perhitungan tersebut adalah mengenai pasaran atau jumlah nominal berdasarkan hari dan tanggal kelahiran. Ada lima poin yakni sandang, pangan, papan,loro dan pati. Sandang yang berarti pakaian, pangan berarti makanan, papan adalah rumah, loro berarti sakit dan pati berarti mati. Setelah dihitung masing-masing maka akan dijumlahkan. Apabila jumlah berada di hitungan loro atau pati kemungkinan pasangan tersebut akan dilarang menikah. Namun itu hanya kebanyakan, ada juga yang tetap melanjutkan pernikahan dengan berbagai ritual. Ritual itu sendiri sebenarnya adalah do’a  tetap dengan tidak melupakan adat istiadat yang sudah ada sejak lama, warisan dari nenek moyang. Intinya sama meminta pertolongan kepada Allah untuk diberi kelancaran baik ketika acara pernikahan atau pun setelah menikah.
Berbagai adat muncul untuk menyikapi hal ini. Ada yang menggelar slametan atau pengajian dengan mendatangkan beberapa orang dan tetangga untuk berdo’a bersama di rumah setiap tahunnya. Dilengkapi dengan hidangan yang harus ada yakni ayam panggang, dan biasanya adalah ayam kampung. Tetapi, setiap orang pasti punya cara yang berbeda untuk menyikapinya. Karena dari awal Yuda memang serius dengan Safa, ia pun menghitung berapa pasaran Safa. Hasil yang diperoleh seakan membuat mereka berdua sedikit ragu dengan orang tua. Jumlah pasaran mereka menunjukkan angka 25. Angka dua puluh lima adalah pati atau mati. Tentu saja sebagai orang tua pasti ada sedikit banyak keraguan untuk memberikan restu dengan kondisi seperti itu. Kecuali, bila pihak orang tua tak terlalu mempermasalahkannya. Semangat Yuda tak berhenti sampai disitu saja. Ia berjanji pada Safa bahwa ia akan terus memperjuangkan cintanya pada gadis yang hobi menari Korea itu.
“Mas, gimana kalau orang tua kita gak merestui?” Tanya Safa.
“Mas akan berusaha semaksimal mungkin,mas siap menentang semua itu”.
“Tapi mas, aku masih ragu”.
“Gini, pokoknya kamu gak usah takut aku akan terus berjuang demi kamu Safa”. Yuda meyakinkan. Mereka berdua adalah pasangan yang cukup romantis. Dan keromantisan mereka akan terhenti untuk beberapa waktu. Yuda harus pergi ke Malaysia untuk bekerja bangunan. Sedangkan Safa memutuskan pergi ke Pare untuk memperdalam bahasa Inggrisnya. Ribuan kilometer menghalangi mereka untuk bertatap muka. Dari hati Safa yang paling dalam ia ingin mengantar Yuda hingga bandara. Namun Yuda melarangnya karena ia akan berangkat bersama dengan beberapa orang temannya menggunakan elef.
Di awal keberangkatannya ke kampung Inggris di Pare, ia masih terbayang-bayang wajah mas Yuda tercinta. Bayang-bayang wajah mas Yuda tak selamanya menghantui Safa.Teman-teman dan suasana baru membuat pikirannya tak hanya terfokus pada sosok Yuda saja.  Satu tahun di Pare ia dan Yuda tak pernah lepas komunikasi. Sesibuk apapun dan apapun kondisinya selalu mereka sempatkan untuk berkmunikasi. Yah, salah satu resep awetnya suatu hubungan adalah komunikasi. Sejak awal pertemuan, Yuda memang sudah berambut panjang. Sering sekali Safa meminta Yuda untuk memotong rambutnya agar terlihat lebih cakep.
“Mas, rambutnya dipotong dong biar cakep”.
“Nanti kalau mas cakep banyak yang naksir”
“Ah kata siapa”,jawab Safa meledek.
“Loh, gak percaya”.
Sampai lelah Safa meminta Yuda memotong rambut, namun tak ada hasil. Jawaban Yuda tetap sama, ia khawatir kalau potong rambut terlihat cakep nanti malah banyak yang naksir. Di Pare Safa berusaha menjaga hatinya agar tak berubah haluan. Tapi, yang namanya anak muda ngefans pada seseorang pastilah ada. Ngefans bukan berarti cinta juga kan. Tutor yang berasal dari Jawa Barat berhasil menarik perhatian Safa. Maklumlah orangnya keren, ganteng dan pastinya jago bahasa Inggris,ya iyalah namanya aja tutor bahasa Inggris gimana gak pinter bahasa Inggris. Hati harus tetap lurus, itu prinsip Safa.
Setahun berlalu dan kini saatnya pendaftaran mahasiswa baru kembali dibuka. Semangat gadis mungil ini tak pernah berhenti untuk mengejar impiannya bisa menimba ilmu di Malang. Lagi-lagi mimpinya kuliah di Malang hanyalah mimpi yang menghiasi takdirnya untuk tidak menimba ilmu disana. Kegagalan di tahun kedua membuatnya sedikit menyerah. Ditambah lagi Yuda sedang tak berada di sampingnya. Akhirnya, ia melabuhkan hatinya di untuk menimba ilmu di kota yang mempunyai maskot pantai Papuma yakni kota Jember.
Dua tahun ini Yuda tak akan pulang ke Indonesia, bahkan hari raya Idul fitri sekalipun ia tak mudik. Sebelum keberangkatannya ke Malaysia orang tua dan beberapa kerabatnya sempat melarang. “Untuk apa jauh-jauh kerja disana, disini kan juga bisa Yud, meskipun hujan emas di negeri orang masih enak hujan batu di negeri sendiri” .kata salah satu kerabatnya.
Namun Yuda tetap dengan pendiriannya. Ia bingung harus kerja apa di Indonesia. Yuda harus melunasi hutang-hutang kedua orang tuanya. Ditambah lagi bapaknya yang sering sakit-sakitan membuat hatinya terpanggil untuk mengais rezeki di tanah perantauan.
“Disana, kalau kamu sakit, kamu ada apa-apa, kita tidak bisa menjenguk nak, sudahlah bekerja disini saja” pinta emaknya.
“Mak, saya akan baik-baik saja disana, yang penting emak selalu mendoakan Yuda”
Yuda bukanlah anak satu-satunya dalam keluarga. Kakaknya sejak kecil dimanja oleh orang tuanya karena saking senangnya mendapat anak untuk pertama kalinya. Hati orang tua mana yang tidak senang setelah sembilan tahun menikah dan tak kunjung dikaruniai anak. Namun setelah sama-sama menjadi orang, kakaknya tak pernah memberikan kontribusi apapun untuk keluarga. Yudalah yang bekerja keras banting tulang untuk kesejahteraan keluarganya di kampung. Yuda melakukan semua itu dengan ikhlas semata-semata demi membalas budi orang tuanya yang selama ini sudah membesarkannya.
Kerinduan antara dua sejoli yang usianya hanya terpaut dua tahun ini semakin menjadi ketika melihat orang lain bisa tertawa bahagia dengan pasangannya. Beberapa hari menuju hari raya Idul fitri, Safa pulang ke rumah dari Jember diantar bus yang selama ini setia mengantarnya berangkat atau pulang menuntut ilmu. Ia hanya bisa berkomunikasi lewat telepon dengan kekasih tercintanya.
“Mas, gak pulamg ini kan hari raya”.
“Mas gak pulang dulu, InsyaAllah tahun depan”
Dua tahun masa penantian Safa terjawab sudah. Kini saatnya Yuda kembali ke tanah kelahirannya di tanah Jawa. Safa yang masih berada di Jember menyempatkan waktu untuk pulang ke rumah Yuda demi bertemu jantung hatinya yang sudah lama berada jauh di negeri seberang. Waktu libur kuliah dua hari ia gunakan untuk pulang. Seperti biasa bus Harapan Jaya bukan Harapan palsu siap mengantarnya menuju kota Soto itu. Sampai di terminal ia dijemput sang pujaan hati. Rasa rindunya selama ini tak bisa tergambarkan kebahagiaannya detik itu. Didukung suasana langit Lamongan yang tengah mendung memberikan kesejukan. Dengan mengendarai sepeda motor Yuda membonceng Safa ke rumahnya. Safa terlihat akrab bercanda ria dengan keluarga Yuda. Tak ada rasa canggung sama sekali. Hanya satu yang mengganjal hati Safa, hitungan pasaran mereka yang bertemu di angka dua puluh lima. Sejak mengetahui hal tersebut Safa selalu teringat apabila ada orang atau bahkan dia sendiri menyebutkan angka dua puluh lima.
Ia tak berani memberitahu keluarganya di pesisir bahwa ia dan Yuda bertemu di angka dua puluh lima. Pasalnya, keluarga mereka sama-sama menganut perhitungan pasaran yang kebanyakan orang Jawa juga melakukannya. Berbagai kekhawatiran menghinggapi Safa.Mulai dari takut tidak direstui, apabila sudah menikah rezeki seret bahkan sampai ada keluarga yang meninggal. Layaknya anak muda yang lain Safa dan Yuda sebenarnya tidak terlalu memperhatikan hal seperti itu, tapi apa daya kebiasaan itu sudah mengakar di tanah kelahiran mereka. Mau tidak mau mereka harus mengikutinya.
Safa belum mempertanyakan kepada ibu bapaknya mengenai 25 itu. Ia takut dibilang kebelet nikah. Masak baru satu tahun kuliah udah pengen nikah. Lain halnya dengan keluarga Yuda yang sudah mengetahui namun tetap memberikan restu untuk hubungan mereka. Hari ini adalah hari ulang tahun Yuda. Kebetulan saat hari jadinya yang ke 22 ia berada di Indonesia. Itu memudahkan Safa untuk memberinya kejutan. Malam menuju pergantian hari pun tiba. Pukul 00.01 Safa membangunkan Yuda yang sedang tertidur lelap.
“Mas, bangun” dengan pelan ia membangunkannya. Tak ada reaksi apapun yang menunjukkan bahwa Yuda akan bangun. Diulanginya lagi.
“Mas bangun,, ayo bangun lebih keras ia membangunkannya. Tak ada respon juga.
Ini adalah senjata pamungkas Safa ketika Yuda susah untuk dibangunkan. Ditempelkannya hidung Safa pada hidung Yuda. Nah, saat itulah Yuda terbangun dengan segera. Dengan malas ia bangun dan pelan-pelan mengangkat badannya dari kasur lalu duduk. Ia melihat Safa berdiri di depannya dengan membawa sebuah kue lengkap dengan lilin bertuliskan umurnya sekarang. Riang suara Safa yang sedikit kurang merdu menyanyikan lagu happy birthday.
“Happy birthday to you..happy birthday to you..”.
Nyawanya masih belum sepenuhnya sadar, namun ia bisa dengan jelas melihat kepedulian pasangannya itu merayakan hari ulang tahunnya. Yuda tersenyum. Ia mengucakan banyak terima kasih kepada Safa lalu meniup lilin. Seperti kebanyakan anak muda lainnya yang mengabadikan setiap momen dengan foto selfie, mereka pun mengikuti tren tersebut. Meskipun Safa adalah anak kuliah sedangkan Yuda hanyalah pekerja bangunan namun hal itu tak menjadi jarak pemisah bagi hubungan mereka. Keesokan harinya Yuda mengajak Safa untuk jalan-jalan naik sepeda di sekitar daerah rumah Yuda. Safa akan kembali ke Jember sore nanti, mumpung masih ada waktu mereka puas-puasin buat jalan-jalan.
“Kamu melet aku ya Yud, kok aku sampai bisa mau sama kamu” canda Safa.
“Siapa yang melet, kamu aja yang emang kecantol sama aku” balas Yuda.
Sering sekali Safa berbicara dan bergurau seperti itu kepada Yuda. Ia yang cantik jelita mau dengan Yuda yang tak terlalu ganteng adalah anugerah bagi Yuda. Jarum jam menunjukkan pukul 15.00, saatnya Safa kembali ke Jember.
“Safa sudah siap?” Tanya Yuda.
“Sebentar mas”.
Yuda mengantar Safa pergi ke terminal menunggu Harapan Jaya. Dalam hatinya Safa bedo’a agar bus tak cepat datang. Ia masih ingin menghabiskan waktu dengan Yuda. Detik demi detik berlalu dan datanglah harapan yang ditunggu-tunggu menghampiri penumpang setianya. Lambaian tangan Safa dari balik jendela bus dibalas dengan senyuman tulus dari Yuda yang sebenarnya tak ingin melepas kepergian Safa. Yuda pun kini juga harus berangkat ke Malaysia untuk kembali bekerja.
Belum genap satu tahun sejak kepulangannya, Yuda mendapat kabar bahwa ayahandanya meninggal. Dengan segera ia kembali ke Indonesia. Di dalam pesawat air matanya tak henti-hentinya menetes seakan tak percaya bahwa ayahnya sudah menghadap Sang Khaliq. Sesampainya di rumah, hujan tangis menyambutnya. Ia segera berlari memeluk ibunya. Yuda berusaha menenangkan ibu tercintanya. Sebelum kepulangannya ke Indonesia ia terlebih dahulu memberi tahu Safa bahwa ayahnya meninggal dan ia pulang. Safa meminta izin dua hari tidak masuk kuliah untuk takziah dan memberikan penghormatan terakhir untuk calon mertuanya itu.
“Assalamualaikum”.
“Waalaikumsalam, masuk nak jawab orang-orang di rumah Yuda.
Safa mencium tangan calon ibu mertuanya dan memeluknya. Yuda bertanya mengapa tak memberitahunya, kan ia bisa menjemput.
“Aku gak mau ngrepotin mas, disini juga sedang butuh mas”.
Malam hari setelah pengajian Safa berbincang-bincang dengan Yuda.  Tak lama kemudian Yuda menyuruh Safa untuk istirahat dulu karena waktu sudah larut malam.
            Beberapa bulan di Malaysia, hari raya Idul Fitri kembali sudah di depan mata. Yuda memutuskan untuk kembali pulang karena tak tega melihat ibunya sedih tak ada ayahnya yang mendampingi. Tak lupa bersilaturrahim ke rumah Safa sekaligus bertemu calon mertua. Setelah itu mengajak Safa bersilaturrahim ke rumahnya. Safa sudah merasa sayang kepada Yuda. Bukan berarti sebelumnya ia tak sayang melainkan rasa sayangnya hanya sekedarnya saja. Ia takut disana nanti Yuda akan main hati dan melukai hatinya. Yuda pun meyakinkan Safa bahwa ia akan senantiasa menjaga hati.
“Aku akan menjaga hatiku untuk Safa, aku bersumpah kalau mas main hati atau menyakiti Safa, hidup mas dan keluarga akan menderita, begitu juga Safa.
“Loh, ngapain aku dan keluargaku diikutkan, yang berjanji kan mas Yuda” jawab Safa.
            Ia teringat akan semua kenangan indah antara ia dan Yuda. Kenangan yang sudah ia bangun selama tiga tahun dengan kekasihnya seakan tak ada artinya lagi. Tak pernah terpikir oleh Safa,kekasih tercinta akan lepas dari genggamannya.
            Yuda tak sesering dulu menghubunginya. Banyak pertanyaan dalam hatinya, apa yang sebenarnya terjadi dengan Yuda. Tiba-tiba datang kabar dari Yuda bahwa ia tertipu oleh pemborong. Gajinya bekerja selama ini tak dibayarkan alias dibawa kabur dan alhasil dia tak punya apa-apa disana. Semua uang sudah ia kirimkan untuk keluarga di kampung. Ia bingung harus bagaimana lagi. Ada seorang janda muda dari luar pulau Jawa yang juga bekerja disana menawarkan bantuan kepada Yuda. Siapa yang sanggup menolak bantuan disaat genting seperti itu. Janda muda itu mencarikan tempat tinggal baru untuk Yuda, mengajaknya makan dan mencarikan pekerjaan baru untuknya. Istilahnya kucing mana yang sanggup menahan ikan asin yang ada di depannya.
            Perempuan itu terus mengajaknya menikah. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba Yuda memberi kabar seperti itu siapa yang tak kaget. Air mata Safa terus berlinang membasahi pipi merahnya. Beberapa hari dilanda kegalauan, Safa akhirnya menelpon calon ibu mertuanya dan Yuda yang ia sambungkan jadi satu. Percakapan pun dimulai. Meskipun pembahasan mereka serius tetapi tetap ada bercandanya. Yuda beralasan bahwa 25 lah yang menjadi penghalang hubungannya selama ini dengan Safa. Ibunya menjelaskan bahwa akan tetap memberikan restu.
            “Iya ibu memberikan restu, tapi bagaimana dengan keluarga Safa, apakah akan memberikan restu juga?”
            “Mas, kamu gak inget sama janji kamu dulu yang siap menentang semua aturan itu”.
            “Mak, kenapa harus ada  aturan seperti itu?” Tanya Safa
            “Dengan aturan itu supaya kita itu gak ngawur nak biar gak asal”.
            “Saya benci dengan semua aturan itu mak”
            “Iya mak, katanya Safa gak mau jadi orang Jawa maunya jadi orang Korea biar terbebas dari semua aturan itu”.
            Hampir sejam mereka bercakap-cakap dalam telepon. Safa berada di bawah meja agar tak ada yang mengetahui. Jreng..jreng datanglah seorang teman Safa. Ia melihat-lihat sepertinya di bawah meja itu ada orang. Langsung saja ia menghampiri.
            “Eh Safa ngapain di bawah meja”
            Safa akhirnya bercerita tentang hubungannya dengan Yuda. Dalam teleponnya tadi, calon ibu mertuanya berkata kalau memang gak bisa dengan Yuda, kita saudaraan saja yang penting jangan sampai ada permusuhan. Ia juga menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di Malaysia.
            “Semua lelaki sama saja, gak ingat sama janji-janjinya dulu”. Cerita Safa sambil menangis.
            “Sabar Safa, dia kan punya alasan kenapa dia seperti itu, kita tunggu saja kelanjutannya bagaimana”. Temannya menenangkan.
            Sejak saat itu Safa sering baper alias bawa perasaan. Ia juga semakin penasaran kenapa perempuan itu sampai ngebet ngajak Yuda nikah. Pikirannya mulai melambung kemana-mana. Safa berniat mencari tahu siapa wanita itu sebenarnya, berani sekali ia merusak hubungan orang. Yuda tak pernah memberitahu siapa sebenarnya wanita itu, ia hanya memberitahu bahwa ia berasal dari luar pulau Jawa. Keesokan harinya Safa membuka facebook Yuda yang passwordnya sudah ia ketahui. Dari semua teman-temannya di facebook ia mengirim pesan, apakah satu kongsi dengan Yuda atau tidak. Ia melihat di kronologi akun facebook Yuda ada seseorang yang mengupload foto Yuda sedang terlihat bingung. Namanya memang seperti laki-laki. Orang tersebut juga tak luput mendapat inbox dari Safa.
            Akun facebook dengan nama laki-laki tersebut terus menjawab semua pertanyaan Safa tentang Yuda. Setelah telisik demi telisik ternyata pemilik facebook itu adalah wanita. Safa menduga bahwa ia adalah orang yang dimaksud Yuda karena sering ia mengupload foto bersama atau sekedar update status bersama Yuda. Safa merasa bahwa ia salah,telah cerita dengan orang tersebut. Ia bercerita panjang lebar tentang Yuda kepada orang itu.
            Ia mendesak Yuda agar mau memberitahu apa nama facebook janda muda itu. Namun Yuda seakan melindungi wanita yang baru saja ia kenal itu dan tak mau memberi tahu Safa. Terbersit rasa menyesal dalam diri Safa, kenapa dulu ketika Yuda mengajaknya menikah ia menolaknya dengan alasan belum siap. Dari dulu Yuda sering mengajaknya menikah, selain alasan belum siap, rasa sayang juga masih ala kadarnya, ia juga masih kuliah dan ingin membahagiakan orang tuanya terlebih dulu. Sekarang disaat rasa ia benar-benar sayang justru Yuda akan meninggalkanya.
            Kabar duka kembali datang dari keluarga Yuda, setelah kepergian ayahnya, kini ibunya menyusul ayahnya menghadap Rahmatullah. Dalam keluarga Yuda juga banyak yang sakit termasuk keponakannya yang masih berada di rumah sakit ketika neneknya meninggal. Yuda memang sosok yang penuh tanggung jawab dan sangat sayang dengan keluarga. Safa diberi tahu oleh kakak ipar Yuda bahwa ibunya Yuda meninggal.
            Ia harus meminta izin lagi untuk tidak kuliah karena takziah. Meski awalnya keluarga tak ada yang berani memberitahu Yuda tentang kematian ibunya, tapi bagaimanapun juga ia harus tahu. Yuda sangat sayang kepada ibunya. Ia sama sekali tak memegang uang sepeser pun dan lagi-lagi wanita yang akrab disapa Fadil itu memberikan uang untuk kepulangan Yuda. Safa yang sampai terlebih dahulu di rumah duka, perasaannya bercampur aduk. Antara senang sedih dan takut. Ia mencoba Yuda yang sedang berada di pesawat dan anehnya nomor Yuda bisa membalasnya.Padahal di dalam pesawat kita tak diperkenankan menghidupkan handphone.
            Safa dan Fadil sempat berbincang di facebook dan WA mengenai masalah percintaan mereka bertiga. Safa berbicara baik-baik dengan janda muda itu. Si janda muda juga membalas dengan baik pula. Tetapi kebaikan janda muda itu hanya sebatas karena ia juga ingin mengorek informasi lebih dalam tentang Safa. Ada satu hal yang membuat Safa tak habis pikir dengan kelakuan disana. Safa terus mendesak apa saja yang dilakukannya ketika bersama dengan si janda  muda. Yuda menjawab bahwa ia hanya keluar dan makan bareng. Safa mengulangi pertanyaannya, apakah hanya itu saja yang mereka lakukan. Akhirnya Yuda mengaku bahwa ia pernah tidur bersama dengan Fadil.
“Aku masih tetap ingat kamu Safa bahkan ketika melakukan itu” jawab Yuda yang masih sangat mencintai Safa.
            “Ya Allah, hati Safa rasanya seperti dilempar batu kali yang sangat besar. Mungkin karena rasa sayang Safa yang sudah telanjur besar kepada Yuda ia tetap mau menerima Yuda. Fadil juga mengaku kalau ia sudah telat beberapa hari. Komunikasi dua perempuan ini tak pernah putus. Safa memberinya saran agar Fadil memeriksakan ke dokter atau membeli tespect. Fadil berdalih bahwa di keda-kedai yang menjual tespect banyak yang mengenalnya jadi ia malu untuk membeli. Entah apalagi alasannya menolak untuk segera pergi ke dokter.
            Di rumah duka Yuda sampai dengan mata yang sudah memerah pada malam hari. Ia tak menuju kamarnya sendiri karena mengetahui ada Safa, melainkan menuju kamar almarhum emaknya. Beberapa saat kemudian Safa masuk ke kamar ibu Yuda dan melihat ada tas besar. Ternyata itu adalah tas Yuda. Safa memeriksa isi tas itu dan menemukan dua buah HP yang bukan milik Yuda. Ia segera mengambilnya dan memeriksa isi dari HP tersebut. Belum selesai ia memeriksa, Yuda sudah berdiri di balik pintu. Segera disembunyikannya 2 HP tersebut di balik bajunya. Yuda berusaha merebut HP itu dari tangan Safa sambil membentaknya.
“Di rumah ini lagi kesusahan jangan ngajakin ribut”
“Aku gak ngajakin ribut mas aku cuma pengen tahu”.
“Awas jangan sampai rusak itu bukan HP ku sendiri, itu HP orang”.
“Trus HP mas mana?” desak Safa.
            HP Yuda dipegang Fadil di Malaysia dengan maksud apabila Yuda butuh uang ia bisa menjualnya di Indonesia. Masalah yang dialami Yuda dan Safa akhirnya diketahui oleh keluarga Yuda, apalagi menjelang wafatnya emak, beliau terus memanggil nama Safa dan apabila Safa tidak jadi dengan Yuda saudaraan saja. Di tengah lagak Yuda yang sok tidak mau kenal dengan Safa lagi, ia tetap memperhatikan gadis yang sudah beberapa tahun ini mengisi hatinya. Tak lupa ia selalu mengingatkan Safa untuk makan dan bahkan memaksanya bila Safa menolak.
            Keluarga menasehati Yuda agar tak salah jalan. Perasaan yang sedang kacau membuat Yuda berbicara sedikit kasar pada sudara yang menasehatinya. Ada sedikit efek baik yang muncul dalam diri Yuda setelah mendapat nasehat dari saudara-saudaranya. Ia bisa bersikap lebih lembut kepada Safa. Pada malam hari setelah pengajian selesai, Yuda mengambilkan bantal untuk Safa yang ada di depan televisi.
“Mas kita shalat isya’ dulu yuk”.
“Nanti ya jam 10 sekarang mas tidur dulu”.
Oke, Safa dengan sabar menantinya hingga pukul 22.00. Ketika dibangunkan Yuda bilang jam dua belas saja karena masih ngantuk. Safa menunggunya kembali. Untung saja ada Korea di TV, jadi Safa tidak boring sambil menahan kantuknya. Dalam penantiannya menunggu bangunnya Yuda dari tidur, ia memotret Yuda dengan berbagai pose tidurnya, membelai rambutnya dan menatapnya lebih lama. Dalam hatinya apakah ini adalah terakhir kalinya bagi Safa untuk bisa bersama dengan orang yang ia kenal di rumah mas Andri itu. Sejak kedatangannya malam itu Safa merasa banyak sekali perbedaan. Dari tatapannya saja tidak seperti dulu. Rasanya sudah beda 180 derajat. 
Jam dua belas Yuda beralasan sama hingga tepat pukul dua malam. Safa memaksanya untuk shalat sebelum berakhir.
“Safa duluan aja nanti mas nyusul” …
“Anterin mas, takut”.. Safa meminta Yuda dengan manja. Yuda pun mengantarnya berwudlu. Barulah setengah jam setelah Safa shalat Yuda juga shalat. Besok Safa harus kembali ke Jember untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang mahasiswi. Di tengah kegundahannya Safa merasa terhibur dengan kepedulian keluarga besar Yuda yang diberikan kepadanya. Keluarga besarnya sudah menganggap Safa sebagai bagian dari keluarganya.
Bahkan ketika bibi Yuda melihat Safa sedang menangis ia menghampiri dan menyuruhnya bercerita agar ia tidak memendam semuanya sendirian. Awalnya ia enggan bercerita namun karena sang bibi pandai memancing akhirnya Safa bercerita. Jum’at sore ini ia berencana kembali. Tapi lagi-lagi takdir tak memperbolehkannya kembali sesuai dengan keinginannya. Yuda mengantarnya setelah shalat Jum’at pada siang hari. Baru saja Safa menyalakan kipas angin dan akan menonton TV dengan keponakan Yuda. Ia kaget dan kembali bertanya kepada Yuda seakan tak percaya ia harus kembali sekarang. Dengan segera ia bersiap-siap dan mengemas semua perlengkapannya. Keluarga Yuda memberinya beberapa bekal makanan untuk di Jember. Safa mengucapkan banyak terima kasih atas segala perhatian dan sambutan yang baik dari keluarga Yuda.
Kecanggungannya kepada Yuda tetap berlanjut sampai di atas sepeda motor. Ia tak berani berpegangan kepada Yuda tak seperti biasanya. Sepanjang perjalanan pun tak ada topik yang terbahas, hanya kesunyian yang terasa bersama hembusan angin. Sampai di terminal adalah hal yang menjengkelkan buat Safa, Kenapa harus secepat ini ia sampai di tempat pemberhentian bus. Yuda masih tetap setia menunggu Safa yang masih berstatus pacarnya itu. Bus yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang hingga membuat siapapun yang menunggunya pasti akan merasa sangat bosan. Namun, bagi Safa bus yang tak kunjung datang adalah sebuah anugerah, karena ia bisa lebih lama menatap wajah Yuda yang sejak kedatangannya bersikap dingin kepadanya.
Yuda memberinya uang saku untuk kembali ke Jember, langsung saja Safa menolaknya. Ia tahu benar bagaimana kondisi Yuda saat ini. Meskipun Yuda memaksanya ia tetap menolak. Beberapa detik kemudian harapannya datang yah apalagi kalau bukan Harapan Jaya. Kenapa bus sudah datang, gumam Safa dalam hati.
Dengan berat hati ia memasuki kendaraan umum itu. Yuda yang biasanya melambaikan tangan ketika bus yang mengantar Safa meninggalkan tempat, kini hanya menatapnya tanpa ada lambaian tangan. Di sepanjang perjalanan Safa banyak menitikkan air mata. Tepat pukul delapan malam ia sampai di Jember. Tak lupa ia bercerita panjang lebar pada temannya yang selama ini setia mendengar ceritanya.
Komunikasinya dengan Fadil juga tak putus sampai disitu saja. Baru kali ini rival bisa menjalin komunikasi yang tak pernah putus. Safa selalu bicara baik-baik pada Fadil agar ia tak ganjen kepada Yuda. Fadil terkadang mendatangi tempat Yuda dan sebaliknya. Safa selalu mengingatkan Yuda untuk berbuat baik agar emak dan bapaknya di alam kubur tidak terbebani dengan dosa yang anaknya. Beberapa hari di negeri Jiran ia terus saja terbayang-bayang Safa. Rasa sayang yang besar kepada Safa membuatnya tak bisa melupakan mahasiswi semester lima itu. Safa tak ingin mengganggu hubungan Yuda dan Fadil, jika Fadil memang benar-benar mengandung anak Yuda. Tak ada kepastian darinya beberapa waktu ini.
Kesedihannya saat ini membuat Safa lebih puitis dalam menyusun kata-kata. Ia mengatakan kepada Yuda jika ia menikah dengan Fadil ia ingin diundang dan Safa akan menganggap anak Yuda dan Fadil seperti anaknya sendiri. Begitu besar rasa yang sudah tertanam dalam hatinya sampai seperti itu. Disepertiga malam Yuda menelpon Safa, untungnya ia sedang terbangun. Namun, tak ada sesuatu hal yang penting. Yuda tak mampu banyak berkata dan yang terdengar hanyalah suara tangisnya. Safa tak mau memaksanya. Jika memang sudah siap silahkan untuk bercerita.
            Berbagai masalah yang datang siih berganti mengingatkan Yuda pada keinginannya waktu SMA. Ia berniat untuk pergi berguru ke sebuah pondok di Jawa Timur. Safa tak tahu tentang pondok tersebut. Yuda bilang bahwa pondok tersebut terpencil dan banyak orang-orang besar yang telah datang kesana. Dalam percakapan di telepon Safa banyak sekali bertanya.
“ Mas akan pergi setelah hutang-hutang emak dan bapak lunas, cicilan sepeda motor mas juga lunas”
“Berapa lama mas akan pergi?”Tanya Safa.
“Mas, akan berguru atau mondok antara lima sampai tujuh tahun”.
“Hah, selama itu kah mas?”
“Iya, tapi setelah semua hutang dan cicilan lunas”.
            Safa selalu berfikir sampai kapan ia harus menunggu. Yuda berguru saja hampir selama tujuh tahun, itu pun harus menunggu sampai hutang-hutang dan cicilannya lunas dulu. Nah kapan semua itu akan lunas. Dilema besar menghantuinya setiap hari. Yuda pun tak memaksa Safa untuk menunggunya sampai ia kembali dari berguru. Safa terus menyuruh Yuda untuk mengantar Fadil periksa ke dokter atau membelikannya tespect agar segera diketahui hasilnya. Takutnya sebenarnya Fadil tidak hamil tapi karena mereka sering bertemu dan melakukan seperti itu akhirnya Fadil mengandung. Fadil sering mendatangi tempat Yuda bekerja dan menginap. Terkadang Yuda yang datang ke tempat Fadil atas permintaan wanita yang lebih tua darinya dua tahun itu.
            Yuda dilarang untuk membawa teman disaat datang ke tempat Fadil. Tapi ia tetap membawa teman agar tidak sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Entah sampai kapan kisah ini akan berakhir. Safa masih dalam penantiannya hingga waktu yang tak pasti. Namun, satu hal yang pasti Yuda akan mendatangi rumahnya kelak ketika ia telah selesai berguru. Ia siap menerima segala takdir bila memang Safa menikah dengan orang lain nantinya.
           


           

Comments